1. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
Yahya (perawi hadis); mengatakan, “Karena sibuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
#haditsshahihseputarbulansya'abn #bulansyaban #bulansya'ban
Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits
Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.
Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus
Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.
#haditsshahihseputarbulansya'abn #bulansyaban #bulansya'ban
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Fath Al-Bari (4: 34) menyatakan bahwa hadits shalat laki-laki dengan berjamaah akan dilipatgandakan menunjukkan bahwa shalat wanita tidak dilipatgandakan ketika dilakukan secara berjamaah. Karena shalat wanita di rumahnya lebih baik dan lebih afdhal.
Dalam Fath Al-Bari (2: 147), Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menjelaskan tentang hadits “laki-laki yang terkait hatinya dengan masjid” menunjukkan bahwa pahala shalat di masjid 27 derajat hanya ditujukan pada laki-laki karena shalat wanita tetap lebih baik di rumahnya dibanding masjid.
Baca bahasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 122393:
1. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
“Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat pengertian hadits ini dalam ‘Aun Al-Ma’bud, 2: 225).
2. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).
3. Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
4. Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutupi aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.” (HR. Muslim, no. 442).
Ada tiga syarat yang mesti dipenuhi ketika seorang wanita ingin shalat berjamaah di masjid: (1) menutup aurat, (2) tidak memakai minyak wangi, (3) harus mendapatkan izin suami. Demikian dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 3457.
Dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An-Nasa’i, no. 5126; Tirmidzi, no. 2786; Ahmad, 4: 413. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Maksudnya wanita semacam itu akan membangkitkan syahwat pria yang mencium bau wanginya. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi, 8: 74)
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Fath Al-Bari (4: 34) menyatakan bahwa hadits shalat laki-laki dengan berjamaah akan dilipatgandakan menunjukkan bahwa shalat wanita tidak dilipatgandakan ketika dilakukan secara berjamaah. Karena shalat wanita di rumahnya lebih baik dan lebih afdhal.
Dalam Fath Al-Bari (2: 147), Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menjelaskan tentang hadits “laki-laki yang terkait hatinya dengan masjid” menunjukkan bahwa pahala shalat di masjid 27 derajat hanya ditujukan pada laki-laki karena shalat wanita tetap lebih baik di rumahnya dibanding masjid.
Kitab Kuning adalah Kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama Islam (diraasah al-islamiyyah) mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq, tata bahasa arab (`ilmu nahwu dan `ilmu sharf), hadits, tafsir, ilmu Al-Qur'an, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu`amalah). Dikenal juga dengan kitab gundul karena memang tidak memiliki harakat (fathah, kasrah, dhammah, sukun, dan sebagainya). Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning diperlukan kemahiran dalam tata bahasa Arab (nahwu dan sharf).
Kebanyakan naskah para ulama pasca Khulafaa al-Rasyidin ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab tanpa harakat, tidak seperti Al-Qur'an pada umumnya. Dikarenakan tujuan pemberian harakat pada Al-Quran lebih kepada bantuan bagi orang-orang non arab dan penyeragaman. Sedangkan bagi orang yang menguasai tata bahasa bahasa Arab maka dapat dengan mudah membaca kalimat tanpa harakat tersebut. Inilah yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai Kitab Gundul untuk membedakannya dengan kitab bertulisan dengan harakat.
Sedangkan mengenai penyebutan istilah sebagai Kitab kuning, dikarenakan memang kitab-kitab tersebut kertasnya berwarna kuning, hal ini disebabkan warna kuning dianggap lebih nyaman dan mudah dibaca dalam keadaan yang redup. Ketika penerangan masih terbatas pada masa lampau, utamanya di desa-desa, para santri terbiasa belajar di malam hari dengan pencahayaan seadanya. Meski penerangan kini telah mudah, kitab-kitab ini sebagian tetap diproduksi menggunakan kertas warna kuning mengikuti tradisi, walaupun ada juga yang telah dicetak pada kertas berwarna putih (HVS). Sebab lainnya, adalah karena umur kertas yang telah kuno yang turut membuat kertas semakin lama akan menguning dan menjadi lebih gelap secara alami, juga disebutkan ketika dahulu lilin/lampu belum bercahaya putih dan masih kuning maka kertas berwarna putih atau kuning sama saja akan tetap terlihat kuning, sehingga ketika kertas kuning dahulu lebih ekonomis maka penggunaan kertas kuning dapat meringankan ongkos produksi secara massal. Kini di era modern Kitab-kitab tersebut telah dialih berkaskan menjadi fail buku elektronik, misalnya chm atau pdf. Ada juga software komputer dalam penggunaan kitab-kitab ini yaitu Maktabah Syamila (Shameela) yang juga mulai populer digunakan dikalangan para santri pondok pesantren modern.
Clifford Geertz seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat dalam bukunya yang terkenal berjudul "Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa" (judul aslinya The Religion of Java)[1] memuat sekelumit ceria tentang kitab kuning. Ada pula buku karangan peneliti Belanda Martin van Bruinessen yang berjudul "Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat",[2] yang membahas sejarah kitab kuning dan pendidikan Islam tradisional di Indonesia.
Kitab Ihya Ulumuddin merupakan sebuah kitab legendaris karya Imam Ghazali yang sangat masyhur dan telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia. Kitab ini juga dijadikan sebagai rujukan para ulama-ulama ahli fiqih dalam membuat standar ilmu fiqih. Sedangkan oleh para ulama sufi, kitab ini dijadikan pedoman yang materi-materinya tidak boleh ditinggalkan. Kitab ini mengandung dua unsur, yaitu fiqih dan tasawuf, sehingga di dalamnya membahas secara gamblang mengenai berbagai persoalan dari bermacam-macam ilmu, khsusunya yang lebih mendalam tentang ilmu tasawuf.
Awalnya penyalinan kitab ini dilakukan dengan cara makhtutoh (tulis tangan), yaitu Al-Ihya’ yang dibuat kurang lebih sebanyak 120 tulisan tangan yang kemudian diarsipkan di perpustakaan-perpustakaan masyhur di penjuru dunia, seperti perpustakaan Al-Azhar, Istanbul Turki, Teheran, Darul Kutub Mesir, Paris, dan lain-lain. Setelah era percetakan mulai berkembang, naskah Ihya akhirnya diterbitkan dan diperbanyak sehingga dapat menyebar di seluruh negara-negara Muslim termasuk di Indonesia.
Secara umum, isi keseluruhan dari kitab Ihya Ulumudin ini mencakup tiga aspek utama dari Ilmu agama, yaitu Ilmu Syari’at, Ilmu Thariqat, dan Ilmu Haqiqat. Imam Ghazali sebagai pengarangnya juga telah menghubungkan ketiga aspek tersebut menjadi satu penalaran yang mudah ditangkap dan dipelajari oleh pembaca. As-Sayyid Abdullah Al-Aydrus memberikan kesimpulan bahwa barangsiapa yang ingin meraih tiga ilmu tersebut (Ilmu Syari’at, Ilmu Thariqat, dan Ilmu Haqiqat), maka cukup baginya mempelajari kitab Ihya Ulumuddin.
Imam Zainuddin, salah seorang ulama Irak memberikan persepsi bahwa kitab ini adalah salah satu kitab Islam yang paling agung dalam menjabarkan halal dan haram. Beliau juga menambahkan bahwa kitab ini juga membahas secara gamblang mengenai persoalan hukum zahir, serta membuka tabir rahasia yang sangat dalam pemahamannya.
Quthbil Auliya As-Sayyid Abdullah Al Aydrus Al Akbar berpesan kepada segenap umat Islam untuk selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah, sedangkan penjelasan (mengenai) keduanya, telah termuat dalam Kitab ini.
Sekilas Mengenai Penulis
Imam Ghazali, nama lengkap beliau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ibnu Muhammad al Ghazali lahir dikota Thos, Khurasan, Persia, pada tahun 450 H. Beliau belajar fiqih pada Ulama Syafi’iyah, yaitu Imamul Haraini Abdul Imamul Haraini Abul Nfa'ali Al-Juwaini (w 478 H).
Beliau (Imam Ghazali) adalah ulama alim kubra, seorang ahli sufi sekaligus ulama hukum yang memiliki gelar Zainuddin Hujatul Islam. Beliau ulama terkemuka yang memiliki pengaruh besar pada dunia Islam. Beliau juga memiliki majelias pengajian yang orang-orang beri julukan sebagai “Majelis 300 Sorban besar”. Selain ahli fiqih, beliau juga merupakan ahli ilmu tasawuf yang tidak ada tandingannya kala itu. Dalam riwayatnya beliau pernah mengajar pada Sekolah Tinggi Syafi’iyah di bagdad tahun 484 H.
Dalam bidang fiqih syafi’i, beliau telah mengeluarkan kitab Al-Wasith, Al-Basith dan Al-Wajiz yang sampai sekarang dipakai oleh sekolah-sekolah syafi’iyyah. Sedangkan dalam bidang tasawuf beliau membuat kitab Ihya Ulumuddin, kitab yang sangat masyhur dan telah dipakai seluruh ulama di penjuru dunia sebagai standar ilmu tasawuf. Imam Nawawi pernah berkata, “Jika semua kita Islam musnah dan yang masih tersisa adalah kita Ihya, niscaya ia dapat menutupi semua kitab yang musnah tersebut.”
Jika anda membeli kitab ini di toko-toko online, kemungkinan besar harganya bisa mencapai 600- 1 juta rupiah, dan itu belum termasuk ongkos kirim. Dan sesuai judul di atas, kami ingin membagikannya gratis versi PDF-nya atau E-Book. Semoga apa yang kami bagikan bisa bermanfaat. Aamiin.
#ihya ulumuddin
#imamghazali
#pondok pesantren digital
#ebook gratis
Semua manusia sepakat, meskipun secara tidak tertulis, bahwa target mereka dalam setiap usaha yang mereka lakukan adalah meraih kesuksesan, mendapat untung dan terhindar dari kerugiaan.
Ironisnya, kebanyakan manusia hanya menerapkan hal ini dalam usaha dan urusan yang bersifat duniawi belaka, sedangkan untuk urusan akhirat mereka hanya merasa cukup dengan ‘hasil’ yang pas-pasan dan seadanya. Ini merupakan refleksi dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisyaratkan keadaan mayoritas manusia ini dalam firman-Nya,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Ruum: 7).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat ini): mayoritas manusia tidak memiliki ilmu pengetahuan kecuali dalam (perkara-perkara yang berkaitan dengan) dunia, keuntungan-keuntungannya, urusan-urusan dan semua hal yang berhubungan dengannya. Mereka sangat mahir dan pandai dalam usaha meraih (keberhasilan) dan cara-cara mengusahakan keuntungan duniawi, sedangkan untuk kemanfaatan (keberuntungan) di negeri akhirat mereka lalai (dan tidak paham sama sekali), seolah-seolah mereka seperti orang bodoh yang tidak punya akal dan pikiran (sama sekali).” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/560).
Perniagaan Akhirat
Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan amalan-amalan shalih, lahir dan batin, yang disyariatkan-Nya untuk mencapai keridhaan-Nya dan meraih balasan kebaikan yang kekal di akhirat nanti sebagai “tijaarah” (perniagaan) dalam banyak ayat al-Qur’an.
Ini menunjukkan bahwa orang yang menyibukkan diri dengan hal tersebut berarti dia telah melakukan ‘perniagaan’ bersama Allah Ta’ala, sebagaimana orang yang mengambil bagian terbesar dari perniagaan tersebut maka dialah yang paling berpeluang mendapatkan keuntungan yang besar.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ. تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ. يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS. ash-Shaff: 10-12).
Imam asy-Syaukani berkata, “Allah menjadikan amalan-amalan (shalih) tersebut kedudukannya seperti ‘perniagaan’, karena orang-orang yang melakukannya akan meraih keuntungan (besar) sebagaimana mereka meraih keuntungan dalam perniagaan (duniawi), keuntungan (besar) itu adalah masuknya mereka ke dalam surga dan selamat dari (siksa) neraka.” (Kitab Fathul Qadiir, 5/311).
Inilah ‘perniagaan’ yang paling agung, karena menghasilkan keuntungan yang paling besar dan kekal abadi selamanya, inilah ‘perniagaan’ yang dengannya akan diraih semua harapan kebaikan dan terhindar dari semua keburukan yang ditakutkan, inilah perniagaan yang jelas lebih mulia dan lebih besar keuntungannya daripada perdagangan duniawi yang dikejar oleh mayoritas manusia. (Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 4/463).
Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyifati ‘perniagaan’ mulia ini sebagai perniagaan yang pasti beruntung dan tidak akan merugi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya, orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (al-Qur’an), mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dengan diam-diam maupun terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Faathir: 30).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata, “(Inilah) perniagaan yang tidak akan merugi dan binasa, bahkan (inilah) perniagaan yang paling agung, paling tinggi dan paling utama, (yaitu) perniagaan (untuk mencari) ridha Allah, meraih balasan pahala-Nya yang besar, serta keselamatan dari kemurkaan dan sisaan-Nya. Ini mereka (raih) dengan mengikhlaskan (niat mereka) dalam mengerjakan amal-amal (shalih) serta tidak mengharapkan tujuan-tujuan yang buruk dan rusak sedikitpun.” (Kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan, hal. 689).
Barang Dagangan/ Perniagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala Adalah Surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah sangat mahal, dan ketahuilah bahwa barang dagangan Allah adalah surga.” (HR. at-Tirmidzi (no. 2450) dan al-Hakim (4/343), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah, no. 954 dan 2335).
Barang dagangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mahal dan mulia ini harganya adalah amalan shalih dan berkorban di jalan-Nya, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala isyaratkan dalam firman-Nya,
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
“Dan amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al-Kahfi: 46).
Juga dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga (sebagai balasan) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111) (Lihat kitab Tauhfatul Ahwadzi, 7/124 dan Fathul Qadiir, 6/123).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan (dalam ayat ini), bahwa Dia telah mengganti (membeli) dari hamba-hamba-Nya yang beriman jiwa dan harta mereka yang mereka curahkan di jalan-Nya dengan Surga (sebagai harganya). Ini merupakan (bagian) dari karunia, kebaikan dan kedermawanan-Nya, karena Dia menerima (untuk memberikan) ganti (harga) dari apa yang merupakan milik-Nya, dengan (ganti yang berupa) anugerah yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang (selalu) taat kepada-Nya. Oleh karena itu, (Imam) Hasan al-Bashri dan Qatadah berkata (tetntang ayat ini), ‘Demi Allah, Dia telah berjual-beli dengan mereka, lalu Dia menjadikan sangat mahal harga (yang mereka terima, yaitu surga).’” (Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 2/515).
Barang Dagangan yang Mahal Hanya untuk Pedagang dan Pembeli Kelas Tinggi
Barang dagangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat mulia dan mahal ini, yaitu Surga, hanya pantas ‘diperdagangkan’ dan ‘dibeli’ oleh para pedagang dan pembeli ‘kelas tinggi’, yaitu mereka yang siap mencurahkan segenap kesungguhan dan perjuangan mereka, dengan jiwa, raga dan harta, untuk meraih kesempurnaan iman dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Merekalah orang-orang ‘kelas tinggi’ dalam arti yang sebenarnya, karena mereka siap berjuang dan mengorbankan segala yang mereka miliki untuk memenuhi ‘selera mereka yang tinggi’, yaitu selera untuk mendapatkan balasan yang tinggi, yaitu Surga.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati Surga dalam al-Qur’an dengan firman-Nya,
فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ
“Di dalam Surga yang sangat tinggi.” (QS. al-Ghaasyiah: 10).
Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati Surga Firdaus dalam sabda beliau, “Jika kalian memohon (Surga) kepada Allah, maka mintalah (Surga Firdaus), itulah Surga yang paling di tengah dan paling tinggi, dan atapnya adalah Arsy (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Pemurah.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 2637 dan 6987).
Bukankah dengan ini mereka pantas disebut sebagai orang-orang yang memiliki ‘selera tinggi’?
Sebagaimana orang-orang yang menjadikan dunia sebagai target utama dalam hidup mereka, pantas disebut sebagai orang-orang yang memiliki ‘selera rendah’ sesuai dengan kerendahan dan kehinaan dunia itu sendiri.
Imam ‘Abdur Rauf al-Munawi berkata, “Dunia itu dinamakan ‘dunia’ (secara bahasa berarti yang rendah/ dekat), karena kedekatannya (cepat berakhirnya) dan kerendahannya (kehinaannya).” (Kitab Faidhul Qadiir, 3/544).
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat utama yang ada pada penghuni Neraka yaitu selalu memprioritaskan kehidupan dunia yang rendah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naazi’aat: 37-41).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari ‘selera yang rendah’ ini, sebagaimana dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ هَمِِّنا ولا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
“(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan [lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi, 9/334]) sebagai target utama kami dan puncak dari pengetahuan kami.” (HR. at-Tirmidzi (no. 3502), dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani).
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa yang bercita-cita untuk (meraih) perkara-perkara yang tinggi, maka wajib baginya untuk menekan kuat kecintaan kepada perkara-perkara yang rendah (dunia).” (Kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah, 1/108).
Sikap inilah yang ditunjukkan oleh shahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, ketika beliau berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang untuk itu beliau harus menyerahkan harta dan emas berlimpah yang beliau miliki kepada orang-orang kafir Quraisy, agar mereka tidak menghalangi hijrah beliau ke Madinah. Sehingga ketika beliau telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengetahui kejadian tersebut berdasarkan berita dari Malaikat Jibril ’alaihis salam, waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira kepadanya dengan bersabda, “Wahai Abu Yahya, (sungguh) telah beruntung perniagaanmu”, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya sebanyak tiga kali.” (HR.al-Hakim (8/31) dan ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, no. 7296, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi).
Kemuliaan dan Keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala Sesuai dengan Kesungguhan Manusia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami berikan hidayah kepada mereka (dalam menempuh) jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al- ‘Ankabuut: 69).
Imam Ibnu Qayyim ketika mengomentari ayat di atas, beliau berkata, “(Dalam ayat ini), Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan hidayah (dari-Nya) dengan perjuangan dan kesungguhan (manusia), maka orang yang paling sempurna (mendapatkan) hidayah (dari Allah Ta’ala) adalah orang yang paling besar perjuangan dan kesungguhannya.” (Kitab Al-Fawa-id, hal. 59).
Tidak terkecuali dalam hal ini, untuk meraih keuntungan besar dalam perdagangan akhirat tentu sangat dibutuhkan perjuangan dan kesungguhan. Kesungguhan dalam memahami petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengamalkannya untuk mencapai ridha-Nya. Inilah jalan untuk mencapai keuntungan yang tinggi dan mulia dalam perdagangan akhirat, yaitu surga yang penuh dengan berbagai macam kenikmatan besar yang “belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan belum pernah terlintas dalam benak manusia.” (Sebagaimana dalam hadits qudsi riwayat Imam al-Bukhari, no. 4501 dan Muslim, no. 2824).
Seorang penyair mengungkapkan hal ini dalam bait syairnya,
Maka katakanlah kepada mereka yang mengharapkan perkara-perkara (balasan) yang tinggi
Tanpa kesungguhan/perjuangan (berarti) kamu mengharapkan sesuatu yang mustahil (kamu dapatkan)
Inilah makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang berjihad/ berjuang dengan sungguh-sungguh (yang sebenarnya) –dalam riwayat lain: jihad/ perjuangan yang paling utama– adalah orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala –dalam riwayat lain: dalam ketaatan kepada Allah –.” (HR. at-Tirmidzi (no. 1621), Ahmad (6/21,22), Ibnu Hibban (no. 4862), dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani).
Nasihat dan Penutup
Inilah perniagaan akhirat dan perniagaan dunia, dan inilah perbandingan antara keduanya, manakah yang akan anda pilih?
Allah Ta’ala berfirman,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (QS. asy-Syams: 7-10).
Kehidupan dunia yang kita jalani, hakekatnya adalah pertaruhan diri kita untuk membawanya kepada jalan kebaikan atau kebinasaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap manusia menjalankan (kehidupannya) dan menjual (mempertaruhkan) dirinya, maka (ada orang) yang membebaskan (menyelamatkan) dirinya dan (ada pula) yang membinasakannya.” (Hadits shahih riwayat Muslim, no. 223).
Imam an-Nawawi berkata, “Makna hadits ini adalah setiap manusia mengusahakan (mempertaruhkan) dirinya, di antara mereka ada yang menjualnya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan (menetapi) ketaatan kepada-Nya, maka dialah yang membebaskan (menyelamatkan) dirinya dari siksa (neraka yang sangat pedih), dan di antara mereka ada yang menjualnya untuk syaitan dan hawa nafsunya dengan menuruti (ajakan) keduanya, maka dialah yang membinasakan dirinya.” (Kitab Syarhu Shahiihi Muslim, 3/102).
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat untuk memotivasi kita agar semangat dan bersungguh-sungguh mengejar keuntungan mulia dalam perdagangan akhirat yang tidak akan merugi.
UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....