(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

Sejarah Ibadah Haji

 


Sejarah Haji mencakup periode yang dimulai sejak zaman nabi Ibrahim melalui dibentuknya ritus haji Islam oleh nabi Islam Muhammad, hingga haji saat ini ketika jutaan umat Islam melakukan ziarah mereka setiap tahunnya. Dalam tradisi Islam, ziarah diperkenalkan di masa nabi Ibrahim. Atas perintah Allah, dia membangun Kakbah yang menjadi tujuan ziarah. Bagi orang-orang Arab pagan di Arabia pra-Islam, Kakbah merupakan pusat kiblat mereka. Pola haji Islam saat ini didirikan oleh Muhammad, sekitar tahun 632 M, yang melakukan reformasi terhadap ziarah pra-Islam orang-orang Arab pagan. Selama abad pertengahan, peziarah akan berkumpul di kota-kota besar seperti BasraDamaskus, dan Kairo untuk pergi ke Mekkah dalam kelompok maupun karavan yang terdiri dari puluhan ribu peziarah.

Dalam sejarah haji yang cukup panjang, suku-suku nomaden padang pasir - yang dikenal sebagai Badui - telah menjadi isu keamanan yang agak ketat untuk kafilah haji. Sekali lagi, sepanjang sejarah, perjalanan ziarah ke Mekkah telah menawari para peziarah dan juga para pedagang profesional kesempatan untuk melakukan berbagai aktivitas perdagangan baik dalam perjalanan maupun di Mekkah, Damaskus, dan Kairo.

Asal

Atas perintah TuhanIbrahim meninggalkan istrinya Hagar (Hajar) dan anaknya Ismael (Isma'il) sendirian di padang pasir kuno Mekkah dengan sedikit makanan dan air yang segera berakhir. Mekkah kemudian menjadi tempat yang tidak berpenghuni.[1] Untuk mencari air, Hajar dengan putus asa berlari tujuh kali di antara dua bukit Shofa dan Marwah tapi tidak menemukan satu pun. Kembali dalam keputusasaan ke di Ismael, dia melihat ada seorang bayi sedang menggaruk tanah dengan kakinya lalu keluar air mancur di bawahnya.[2][3] Karena adanya air, suku-suku mulai menetap di Mekkah, Jurhum menjadi suku pertama yang datang. Ketika dewasa, Ismail menikah di suku dan mulai tinggal bersama mereka.[3] Quran menyatakan bahwa Ibrahim, bersama dengan anaknya Ismail, membangun fondasi sebuah rumah yang diidentifikasi oleh kebanyakan komentator sebagai Kakbah. Setelah menempatkan Batu Hitam di sudut timur Kakbah, Ibrahim menerima sebuah wahyu dimana Allah mengatakan ke di nabi berusia lanjut bahwa dia sekarang harus pergi dan mengumumkan ziarah ke umat manusia.[2] Quran mengacu di kejadian ini dalam Al-Baqarah:124-127 dan Al-Hajj:27-30. Ulama Islam Shibli Nomani menyebutkan bahwa rumah yang di bangun oleh Ibrahim tingginya 27 kaki, panjang 96 kaki, dan lebar 66 kaki.[4]

Arab pra-Islam

Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam adalah pemuja berhala. Kakbah masih menjadi pusat pemujaan mereka,[5] dan dipenuhi dengan berhala dan gambar Malaikat.[6] Selama musim ziarah tahunan, orang-orang dari dalam dan luar negeri akan mengunjungi Kakbah. Suku Quraisy bertugas menghibur dan melayani para peziarah. Shibli Nomani menyebutkan bahwa orang-orang Arab pagan memperkenalkan beberapa ritus suci selama ziarah mereka. Tidak seperti ibadah Haji hari ini, mereka tidak berjalan di antara perbukitan Shofa dan Marwah dan tidak berkumpul di Arafah. Beberapa akan menjaga keheningan selama seluruh perjalanan ziarah. Kecuali orang-orang dari suku Quraisy, yang lain akan tampil tawaf dalam keadaan telanjang. Selama tahun-tahun awal kenabian Muhammad, musim haji menawarkan Muhammad kesempatan untuk mengkhotbahkan Islam ke di orang asing yang datang ke Mekkah untuk berziarah.[butuh rujukan]

Muhammad dan haji

Kafilah unta bepergian ke Mekkah untuk melakukan ziarah tahunan, sekitar tahun 1910.
Bagian dari seri tentang
Muhammad
Muhammad

Pola Haji saat ini didirikan oleh nabi Islam Muhammad yang melakukan reformasi terhadap ziarah pra-Islam orang-orang Arab pagan.[7] Mekkah ditaklukkan oleh umat Islam di 630 M. Muhammad kemudian membersihkan Kakbah dengan menghancurkan semua berhala pagan, dan kembali menahbiskan bangunan tersebut ke di Allah.[6] Tahun selanjutnya, ke arah MuhammadAbu Bakr memimpin 300 orang Muslim untuk berziarah di Mekkah di mana Ali menyampaikan sebuah khotbah yang menetapkan ritus baru haji dan membatalkan upacara pagan. Dia secara khusus menyatakan bahwa tidak ada orang yang tidak berimankafir, dan telanjang yang diizinkan untuk mengelilingi para Kakbah dari tahun depan.[8] pada tahun 632 M, sesaat sebelum wafatnya, Muhammad melakukan ziarah satu-satunya dan terakhir dengan sejumlah besar pengikut, Dan mengajarkan mereka ritus haji dan tatakrama untuk melakukan hal itu.[9] Di dataran Arafah, dia menyampaikan pidato terkenal - yang dikenal dengan Khotbah perpisahan Nabi Muhammad - ke di mereka yang hadir di sana.[10] Sejak saat itu, haji menjadi salah satu dari Lima Rukun Islam.

Abad Pertengahan dan Utsmaniyah

Unta dan tenda peziarah di Mekkah, sekitar tahun 1910.

Selama abad pertengahan, peziarah akan berkumpul di ibu kota SuriahMesir, dan Irak untuk pergi ke Mekkah dalam kelompok dan karamba terdiri dari puluhan ribu peziarah.[11] Para penguasa Muslim akan bertanggung jawab atas Haji, dan memberikan patronase negara untuk mengorganisir kafilah ziarah tersebut.[12][13] Untuk memfasilitasi perjalanan ziarah, sebuah jalan sepanjang 900 mil dibangun, membentang dari Irak ke Mekkah dan Madinah. Pembangunan jalan itu mungkin dilakukan di khalifah Abbasiyah ketiga al-Mahdi, ayah dari khalifah Abbasiyah Abbasiyah Harun al-Rashid, sekitar tahun 780 M. Ini kemudian dinamai 'Jalan Zubayda' (Darb Zubaidah), setelah istri Harun, karena dia terkenal melakukan perbaikan di sepanjang rute dan memberikannya dengan air dan rumah makan untuk peziarah secara berkala.[14][15] Baik Harun dan Zubayda melakukan ibadah haji beberapa kali melakukan kegiatan perbaikan di Mekkah dan Madinah.[16].[17]

Banyak informasi tentang haji abad pertengahan berasal dari pengamatan langsung terhadap tiga pelancong Muslim - Nasir Khusraw, Ibnu Jubair, dan Ibnu Batutah - yang melakukan ziarah dan mencatat laporan rinci tentang perjalanan haji di zaman mereka. Khusraw melakukan haji pada tahun 1050 Masehi. Memulai perjalanan pertamanya dari Granada pada tahun 1183 M, Ibnu, Jubayr, penduduk asli Spanyol, melakukan ziarahnya pada tahun 1184 dan kemudian pergi ke Baghdad.[18] Ibnu Battuta, penduduk asli Maroko, meninggalkan rumahnya pada tahun 1325 dan melakukan ziarahnya pada tahun 1326 M.[19] Setelah jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 (selama periode Mamluk), Damaskus dan Kairo menjadi poin utama bagi para peziarah. Sementara peziarah jemaah haji di Suriah, Irak, dan Iran, dan Anatolia bergabung dengan kafilah Damaskus, mereka yang berasal dari wilayah Afrika Utara dan Sub Sahara bergabung dengan kafilah Kairo.[11][19]

Rute haji

Peziarah Mekkah dari Hindia Belanda di atas kapal Rotterdamsche Lloyd 'Kota Nopan', Laut Merah (1937 M).

Di Irak abad pertengahan, titik pusat pengumpulan untuk peziarah adalah Kufah dan Basra dimana bekas terhubung dengan wilayah Hejaz oleh Jalan Zubayda. Rute ini dimulai dari Kufah, melintasi Fayd (sebuah tempat di dekat Jabal Shammar di bagian tengah Arab Saudi), melintasi wilayah Nejd (sebuah wilayah di Arab Saudi tengah), lalu menuju Madinah, dan kemudian sampai ke Mekkah.[20] Di Syria abad pertengahan, titik keberangkatan bagi peziarah adalah Damaskus. Rute Syria ini dimulai dari Damaskus, dan menuju ke selatan, mencapai Al-Karak dan kemudian Ma'an (keduanya berada di Yordania saat ini), menyeberang melalui Tabuk (sebuah tempat di barat laut Arab Saudi), Hijr (sekarang Madain Shaleh), Dan Al-Ula (di barat laut Arab Saudi, 380 km utara Madinah), lalu melanjutkan perjalanan ke Madinah, dan kemudian sampai ke Mekkah.[21][22] Sejak pemerintahan Umayyah sampai zaman Ottoman, kota Ma'an berperan sebagai tempat pasar bagi peziarah di rute Syria.[23] Di rute Mesir, para peziarah akan berkumpul di Kairo, dan setelah empat hari, mulailah ke tanah Ajrud (24 kilometer barat laut Suez), dan dari sana mereka akan sampai ke Suez, dan melintasi Semenanjung Sinai melalui titik Al-Nakhl, mereka Akan mencapai Aqaba (di bagian selatan Yordania sekarang), kemudian melakukan perjalanan sejajar dengan Laut Merah, mereka sampai di Yanbu, kemudian dilanjutkan ke Madinah, dan akhirnya sampai ke Mekkah.[21][24] Kafilah haji akan memulai perjalanan ziarah mereka dari sana, melakukan perjalanan darat atau laut dan melalui ding pasir, dan, setelah pertunjukan ziarah, kembali ke sana. Total perjalanan memakan waktu kira-kira dua sampai tiga bulan rata-rata.[19][24] Ziarah ke Mekkah terutama merupakan perjalanan darat dengan menggunakan unta sebagai sarana transportasi. Sepanjang sejarah, bagaimanapun, banyak peziarah jauh dari Maghreb, anak benua India, dan Asia Tenggara juga harus menggunakan berbagai rute laut untuk mencapai Hejaz.[25] Jemaah haji dari Maghreb (TunisiaAljazairLibya) akan melakukan perjalanan melalui pantai bawah laut Mediterania untuk mencapai dan bergabung dengan kafilah Kairo.[26] Beberapa peziarah yang datang dari Afrika akan menyeberangi Laut Merah untuk mencapai Hijaz, dan kemudian ke Mekkah.[27][28]

Di era Ottoman

Benteng Haji Ottoman di Mada'in Saleh, 1907

Setelah Dinasti Utsmani berkuasa, sultan Kekaisaran Utsmaniyah mengkhawatirkan pengelolaan program haji, dan mengalokasikan anggaran tahunan untuk pengaturannya.[29] Selama periode ini, Damaskus dan Kairo masih menjadi poin utama dari mana kafilah utama haji akan berangkat dan kembali.[30][31] Kafilah ini termasuk ribuan unta untuk membawa peziarah, pedagang, barang, bahan makanan, dan air. Banyak orang juga melakukan perjalanan ziarah mereka dengan berjalan kaki. Para penguasa akan memasok kekuatan militer yang diperlukan untuk menjamin keamanan kafilah haji. Komandan kafilah yang berangkat dari Kairo dan Damaskus ditunjuk oleh kedaulatan Muslim dan dikenal sebagai Amir al-Haji. Mereka bertanggung jawab untuk melindungi peziarah kafilah tersebut, dan mengamankan dana dan persediaan untuk perjalanan tersebut.[32] Ahli bedah dan dokter juga dikirim dengan kafilah Suriah ke dokter para peziarah bebas biaya.[33] Selama periode ini, sekitar 20.000 sampai 60.000 orang melakukan ziarah mereka setiap tahunnya.[32]

Perpajakan pada peziarah

Mahmal Mesir (kafilah peziarah) melintasi Terusan Suez dalam perjalanan ke Mekkah, sekitar tahun 1885

Menurut Ibn Jubayr, selama Khilafah Fatimiyah (909-1171 M), pajak dikenakan di peziarah oleh penguasa lokal Hijaz dengan tarif tujuh setengah dinar per kepala. Mereka yang tidak mampu membayarnya harus mengalami penyiksaan fisik yang ekstrem.[34] Namun, mengenakan pajak di peziarah dianggap ilegal oleh para ahli hukum Islam. Setelah Saladin memerintah kekhalifahan Fatimiyah sekitar tahun 1171 dan mendirikan dinasti Ayyubiyah, usaha dilakukan oleh dia untuk menghapuskan pajak di peziarah.[34] Penghapusan pajak ilegal Saladin dipuji oleh Ibn Jubayr. Namun, tindakan Saladin terbukti tidak mencukupi, terutama di masa kemudian, sebagian karena ada pajak lain (seperti pajak karavan atau unta haji) dan juga karena keputusan administratif, yang diambil di Damaskus atau Kairo, tidak mudah diterapkan secara efektif di Hijja Karena jarak jauh. Beberapa sultan Mamluk kemudian - seperti Baybersand Hassan - melakukan usaha aktif untuk mengendalikan penguasa lokal Mekkah dari mengenakan pajak di karavan peziarah dengan memberi kompensasi ke di penguasa Mekkah dengan alokasi tahunan sejumlah uang tetap.[35] Al-Suyuti menyebutkan bahwa pada tahun 384 AH (sekitar tahun 994 M), peziarah yang datang dari Irak, Suriah, dan Yaman untuk melakukan haji kembali tidak berhasil karena mereka tidak diijinkan melakukan haji tanpa membayar pajak. Hanya peziarah Mesir yang melakukan haji tahun itu.[15]

Masalah Badui

Prosesi menunggu peziarah. Di sebelah kanan adalah unta berlutut. Di sebelah kiri ada palanquin perak dan gading, 1911

Dalam sejarah haji yang cukup panjang, suku-suku nomaden ding pasir - yang dikenal sebagai Badui - telah menjadi isu yang agak gigih bagi kafilah haji.[36] Mereka sering digunakan untuk menyerang kafilah - haji atau barang dagangan - yang melewati wilayah mereka, sehingga menimbulkan ancaman keamanan. Mereka harus dibayar dengan bayaran yang serampangan dengan imbalan keamanan karavan haji.[37] Kepala rezim akan menyerahkan pembayaran ke di Amir al-Hajj - komandan yang bertanggung jawab atas kafilah haji - yang kemudian akan melakukan pembayaran ke di suku Badui sesuai dengan tuntutan situasi.[37] Bahkan saat itu, ada korban sesekali. pada tahun 1757 M, suku Badui, Bani Sakhr, menyerang kafilah haji yang mengakibatkan kematian banyak peziarah, segera dan sesudahnya, dan korban lainnya.[38]

Aktivitas perdagangan

Sepanjang sejarah, perjalanan ziarah ke Mekkah telah menawari para peziarah dan juga pedagang profesional melakukan kesempatan untuk melakukan berbagai aktivitas perdagangan baik dalam perjalanan maupun di MekkahDamaskus, dan Kairo.[39][40] Pembebasan bea cukai di darat dan keamanan yang diberikan di kafilah haji membuat ladang yang menguntungkan untuk diperdagangkan. Banyak peziarah membawa barang, diproduksi di tanah masing-masing, untuk menjualnya, sehingga menjadi pedagang sesekali, dan mengelola beberapa biaya untuk perjalanan haji.[41] Menurut John Lewis Burckhardt, orang-orang Afghanistan membawa selendang kasar, manik-manik batu, sikat gigi; Orang-orang Turki Eropa membawa sepatusandaltas sutra rajutan, barang bordir, dan manisan; Orang Turki Anatolia membawa selendang dan karpet Angora; Para peziarah Maghreb membawa jubah yang terbuat dari wol.[41] Pengusaha profesional melakukan kegiatan perdangangan berskala besar yang mencakup pengangkutan barang antara Mekkah dan kota mereka sendiri serta penjualan sendiri rute haji.[42] Barang-barang India dan barang-barang Timur lainnya, yang dibawa ke Mekkah oleh kapal-kapal, dibeli oleh pedagang besar di Kairo dan Damaskus yang, setelah kembali, kemudian menjualnya di pasar mereka sendiri. Barang-barang ini umumnya termasuk tekstil India, berbagai rempah-rempahkopiobat-obatan terlarang, dan batu mulia.[43]

Zaman modern

Rute Kereta Api Hejaz

Selama paruh kedua abad kesembilan belas (setelah tahun 1850an), kapal uap mulai digunakan dalam perjalanan ziarah ke Mekkah, dan jumlah peziarah yang bepergian dengan rute laut meningkat.[44] Dengan dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, waktu tempuh ziarah dipersingkat.[45] Awalnya, perusahaan kapal Inggris memiliki monopoli dalam bisnis kapal uap ini dan mereka menawarkan sedikit fasilitas ke di para peziarah. pada tahun 1886, pemerintah India kemudian mengadopsi beberapa peraturan untuk memperbaiki perjalanan ziarah dari India ke Hejaz.[46] Selama awal abad ke-20, Sultan Ottoman Abdul Hamid II membangun Kereta Api Hejaz antara Damaskus dan Madinah yang selanjutnya memfasilitasi perjalanan ziarah: para peziarah melakukan perjalanan dengan relatif mudah dan sampai di Hijaz hanya dalam waktu empat hari.[47] Mulai dari Damaskus di bulan September 1900, Kereta api tersebut mencapai Madinah di bulan September 1908 yang memiliki jarak 1.300 kilometer (490 mi).[48][49] Kereta api rusak selama Perang Dunia Pertama dan Pemberontakan Arab oleh sebuah pasukan yang dipimpin oleh perwira Inggris T. E. Lawrence.[47][50]

Swiss Locomotive and Machine Works di Swiss membangun sebuah kelas dengan lokomotif 2-8-0 untuk Railway Hejaz pada tahun 1912, bernomor 87-96.

Setelah kontrak antara pemerintah Arab Saudi dan Misr Airlines di Mesir pada tahun 1936, Maskapai Misr memperkenalkan layanan penerbangan pertama untuk jamaah haji pada tahun 1937.[51] Masalah mesin berikutnya dari pesawat mengganggu penerbangan haji, dan Perang Dunia Kedua dari tahun 1939 sampai 1945 menyebabkan penurunan jumlah peziarah. Sistem transportasi modern dalam perjalanan ziarah secara efektif dimulai hanya setelah Perang Dunia Kedua. Otoritas Arab Saudi mendirikan Perusahaan Transportasi Arab dan Perusahaan Transportasi Bakhashab pada tahun 1946 dan 1948 untuk mengangkut para peziarah di berbagai lokasi haji yang terbukti sangat efektif pada tahun-tahun berikutnya, dan penggunaan unta sebagai alat transportasi dalam perjalanan ziarah. Hampir berakhir pada tahun 1950 Masehi.[51] Menurut satu akun, selama musim haji 1946-1950, sekitar 80 persen dari total peziarah asing tiba di laut, 10 persen berbantahan darat, dan 7 persen melalui transportasi udara.[52] Tahun 1970an dan dekade berikutnya melihat Peningkatan dramatis jumlah peziarah karena tersedianya sistem perjalanan udara yang terjangkau.


Sumber : id.wikipedia.org

Share:

Amalan setara dengan ibadah haji



Berangkat ke Tanah Suci untuk ibadah Haji dan Umrah adalah impian umat Islam. Selain bagian dari rukun Islam kelima, haji merupakan kewajiban yang sangat berpahala. Sayangnya tidak semua umat Muslim bisa berangkat melaksanakannya. Bahkan, ada saja halangan yang membuat Haji dan Umrah tertunda. Nah, amalan yang berpahala setara Haji dan Umrah ini bisa sedikit menenangkannya.

Islam selalu memudahkan, seperti Islam memudahkan untuk mendapat pahala setara Haji dan Umrah tanpa harus ke Baitullah. Bahkan, amalan yang pahalanya setara Haji dan Umrah ini juga tidak sesulit yang dibayangkan. Kebanyakan umat Muslim sudah sering sekali mengamalkannya.

Meski ada amalan yang pahalanya setara Haji dan Umrah, umat Muslim tetap harus berniat ke Baitullah. Benar-benar menginjakkan kaki di rumah Allah. Mengunjungi makan Rasulullah, akan lebih membuatmu semakin bertaqwa kepada Allah SWT.

Berikut Liputan6.com ulas amalan yang pahalanya setara haji dan umrah dari berbagai sumber, Kamis.

Wudu/Suci Ketika Menuju Masjid

Amalan yang pahalanya setara Haji dan Umrah yakni ketika umat Muslim menuju masjid dalam keadaan suci. Suci dari hadas kecil dan suci dari hadas besar. Termasuk bagi mereka yang sudah berwudu sebelum berangkat salat berjemaah di masjid.

Begitu juga bagi mereka yang hendak salat sunnah di masjid dan menuntut ilmu di masjid. Amalan ini bisa juga bermakna ketika menuntut ilmu selain di masjid. Sebab, saat zaman Rasulullah SAW, masjid adalah tempat bagi umat menuntut Ilmu.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju salat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji. Barangsiapa keluar untuk salat Sunnah Duha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah.” (HR Abu Daud).

Salat Fardu Berjemaah di Masjid

Ternyata melaksanakan salat fardu lima waktu berjemaah di masjid termasuk amalan yang pahalanya setara Haji dan Umrah. Amalan ini sangat bisa mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Memakmurkan masjid dengan terus berupaya mendatanginya. Selain setara dengan pahala Haji dan Umrah, selalu salat fardu berjemaah di masjid juga begitu berlimpah pahalanya.

Ada dua hadits Rasulullah yang bisa menguatkannya, yakni:

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ فِي الجَمَاعَةِ فَهِيَ كَحَجَّةٍ وَ مَنْ مَشَى إِلَى صَلاَةٍ تَطَوُّعٍ فَهِيَ كَعُمْرَةٍ نَافِلَةٍ

“Siapa yang berjalan menuju salat wajib berjemaah, maka ia seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju salat sunnah, maka ia seperti melakukan umrah yang sunnah.” (HR. Ath-Thabrani)

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju salat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji. Barangsiapa keluar untuk salat Sunnah Duha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah. Dan (melakukan) salat setelah shalat lainnya, tidak melakukan perkara sia-sia antara keduanya, maka pahalanya ditulis di ‘illiyyin (kitab catatan amal orang-orang salih).” (HR. Abu Daud)

Salat Isyraq

Salat Isyraq termasuk amalan yang pahalanya setara ibadah Haji dan Umrah. Amalan salat ini di awali dengan salat Subuh berjemaah di masjid. Setelah itu, dianjurkan untuk tetap berzikir di dalam masjid sampai waktu salat Duha tiba. Tepatnya ketika matahari telah terbit. Terakhir dirikanlah salat Duha di awal waktu.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa yang mengerjakan salat Subuh dengan berjemaah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan salat Sunnah Duha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumrah secara sempurna." (HR. Ath-Thabrani)

Salat Sunnah di Masjid

Melaksanakan salat sunnah di masjid semata karena Allah SWT termasuk amalan yang pahalanya setara ibadah Umrah. Jika dalam hadits hanya dijelaskan melaksanakan salat Duha, sebenarnya salat sunnah lain juga lebih baik didirikan.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ وَصَلاَةٌ عَلَى أَثَرِ صَلاَةٍ لاَ لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِى عِلِّيِّينَ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci menuju salat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji. Barangsiapa keluar untuk salat Sunnah Duha, yang dia tidak melakukannya kecuali karena itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah.” (HR Abu Daud).

Menuntut Ilmu

Menuntut ilmu atau menghadiri majelis ilmu juga bagian dari amalan yang pahalanya setara ibadah Haji. Apalagi jika tujuan menuntut ilmunya tentang ilmu yang sudah pasti bermanfaat. Serta tujuannya untuk bekal ilmu di dunia dan di akhirat.

Pada zaman Rasulullah SAW tempat terbaik menuntut ilmu adalah di masjid. Sebab, sekolah juga masih dilaksanakan di masjid. Berbeda dengan keadaan umat sekarang, sudah ada sekolah. Namun, menuntut ilmu di masjid juga akan sangat dianjurkan jika bisa dilakukan.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala Haji yang sempurna Hajinya." (HR. Ath-Thabrani)

Berniat Haji

Meski belum mampu melaksanakan ibadah Haji, berniat melaksanakan haji sangat dianjurkan. Sebab, tekad yang sangat kuat untuk berhaji akan dicatat pahala sama ketika berhaji. Terutama bagi umat Muslim yang sudah mendaftar ibadah Haji tetapi justru sudah dipanggil oleh Allah SWT.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata ketika perang tabuk kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَقَالَ « إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ »

“Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena mendapatkan uzur sakit.” (HR. Muslim)

Umrah di Bulan Ramadhan

Umrah di bulan Ramadan juga termasuk amalan yang pahalanya setara ibadah Haji. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW masih hidup di dunia. Namun, tetap saja benar-benar melaksanakan Haji akan jauh lebih besar pahalanya. Ibadah Umrah yang dilaksanakan di bulan Ramadan juga tidak bisa menggantikan ibadah Haji dengan sempurna.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada wanita:

مَا مَنَعَكِ أَنْ تَحُجِّى مَعَنَا

“Apa alasanmu sehingga tidak ikut berhaji bersama kami?”

Wanita itu menjawab, “Aku punya tugas untuk memberi minum pada seekor unta di mana unta tersebut ditunggangi oleh ayah fulan dan anaknya. Ia meninggalkan unta tadi tanpa diberi minum, lantas kamilah yang bertugas membawakan air pada unta tersebut.

Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

“Jika Ramadan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadan senilai dengan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua. Berbuat baik kepada kedua orang tua bahkan termasuk amalan yang pahalanya setara Haji dan Umrah. Amalan ini akan semakin besar nilai pahalanya jika dimaksimalkan ketika orang tua masih hidup di dunia.

Meski sebenarnya ketika orang tua sudah tidak ada di dunia, bisa dengan terus mendoakan kebaikan untuk mereka. Kemudian memenuhi janji mereka, selalu menjalin silaturahmi dengan keluarga, memuliakan teman mereka, dan bersedekah atas nama mereka.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنِّي أَشْتَهِي الْجِهَادَ وَلا أَقْدِرُ عَلَيْهِ ، قَالَ : هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ ؟ قَالَ : أُمِّي ، قَالَ : فَأَبْلِ اللَّهَ فِي بِرِّهَا ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ ، وَمُعْتَمِرٌ ، وَمُجَاهِدٌ ، فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللَّهَ وَبِرَّهَا

“Ada seseorang yang mendatangi Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia sangat ingin pergi berjihad namun tidak mampu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya apakah salah satu dari kedua orang tuanya masih hidup. Ia jawab, ibunya masih hidup. Rasul pun berkata padanya, “Bertakwalah pada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumrah dan berjihad.” (HR. Ath-Thabrani)

Sumber : https://hot.liputan6.com/read/4270507/8-amalan-yang-pahalanya-setara-dengan-naik-haji-dan-umrah#:~:text=Salat%20Isyraq%20termasuk%20amalan%20yang,sampai%20waktu%20salat%20Duha%20tiba.

Share:

Keistimewaan Penghafal Al-Qur'an

 


  1. Meraih ridla Allah SWT
  2. Mendapatkan pertolongan (syafaat) saat dahsyatnya hari Kiamat
  3. Memperoleh kenikmatan di dunia dan akhirat yang tiada bandingannya
  4. Meraih nikmat kenabian hanya saja dia tidak diberi wahyu.
  5. Mendapat Tasyrif Nabawi (penghormatan/diistimewakan Rasul)
  6. Para ahli Quran adalah keluarga Allah yang berjalan di atas bumi (sangat dekat dan dicintai Allah SWT).
  7. Dipakaikan mahkota dari cahaya di hari kiamat yang cahayanya seperti cahaya matahari
  8. Kedua orang tuanya dipakaikan jubah kemuliaan yang tak dapat ditukarkan dengan dunia dan seisinya
  9. Dapat jaminan surga (Ahlullah).
  10. Mendapat derajat dan kedudukan yang sangat tinggi di surga. Tinggi rendahnya derajat dan kedudukannya di surga tergantung dengan derajat hafalannya.
  11. Namanya akan diperkenalkan kepada para malaikat Muqarrabin dan para penghuni surga yang sangat dicintai Allah.
  12. Kemuliaannya disejajarkan dengan Malaikat Jibril
  13. Ahli dzikir paling agung
  14. Bukti kemu’jizatan Al Quran
  15. Duta ukhuwah dunia. Saat para hafidz dari berbagai negara bertemu secara otomatis merasakan persaudaraan yang luar biasa seakan sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya.
  16. Dimuliakan Allah SWT. Menghormati penghafal Quran berarti mengagungkan Allah
  17. Hati penghafal Quran tidak akan tersentuh api neraka
  18. Dapat memberikan syafaat kepada 70 orang yang dicintainya.
  19. Dibukakan pintu-pintu rahmat
  20. Makin bertambah keimanannya
  21. Kuburannya terang benderang
  22. Haram jasadnya dimakan binatang-binatang tanah
  23. Tiap satu huruf yang diucapkannya berpahala seperti berbuat 10 hasanah (kebaikan)
  24. Setiap bacaannya bernilai dzikir dan shadaqah
  25. Rumahnya paling indah di sisi Allah  
  26. Pemilik benteng dan perisai hidup paling kuat
  27. Memperoleh kedudukan yang tinggi di hati orang-orang soleh.
  28. Lebih berhak menjadi imam shalat
  29. Allah membolehkan rasa iri terhadapnya
  30. Hidupnya penuh kebaikan dan keberkahan
  31. Pemilik bekal hidup yang paling baik
  32. Khazanah (sumber) rujukan hukum Islam yang utama
  33. Difasihkan Allah dalam berbicara
  34. Ciri orang yang diberi ilmu
  35. Makin kuat daya ingatnya
  36. Terhindar dari penyakit pikun dini
  37. Kecerdasan dan IQ-nya meningkat
  38. Menjadi hujjah dalam ghazwul fikri (perang pemikiran / opini)
  39. Sumber inspirasi (menjadi motivator tersendiri) sepanjang masa
  40. Fikiran dan jiwanya menjadi jernih dan tentram
  41. Memperoleh ketenangan dan stabilitas psikologis
  42. Mudah diterima ucapannya di depan publik
  43. Lebih amanah menerima kepercayaan orang lain
  44. Penerima amanah agung yang tidak sanggup dipikul oleh gunung sekalipun
  45. Sehat jasmani dan rohaninya.
  46. Termasuk golongan manusia terbaik di sisi Allah
  47. Do’anya mustajab (dikabulkan Allah SWT).
  48. Dimudahkan dalam mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya
  49. Dimudahkan dalam urusan hidup dunia akhiratnya
  50. Menyembuhkan berbagai penyakit
  51. Bukti orang yang mensyukuri nikmat lisan, pendengaran, penglihatan indra lainnya.
  52. Setiap hafalan yang dibacakannya merontokan dosa-dosanya
  53. Membinasakan kekuatan syetan
  54. Murajaah dan muddakarah (proses belajarnya) sesaat lebih utama daripada shalat sunnat 1000 rakaat
  55. Mati saat berusaha menghafalnya termasuk mati syahid yang mendapat jaminan surga.
Share:

Dalil Anjuran membaca Basmalah

 


1- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللهِ فَهُوَ أَبْتَرُ – أَوْ قَالَ : أَقْطَعُ –

Setiap perkataan atau perkara penting yang tidak dibuka dengan dzikir pada Allah, maka terputus berkahnya.” (HR. Ahmad, 2: 359. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

 

2- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَبْتَرُ

Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan ‘bismillahirrahmanir rahiim’, amalan tersebut terputus berkahnya.” (HR. Al-Khatib dalam Al-Jami’, dari jalur Ar-Rahawai dalam Al-Arba’in, As-Subki dalam tabaqathnya)

 

3- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِ لْحَمْدُ لِلَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ

Setiap pembicaraan yang tidak dimulai dengan ‘alhamdu’, maka berkahnya terputus.” (HR. Abu Daud, no. 4840; Ibnu Majah, no. 1894. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

 

4- Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أَمْرٍ ذِى بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِالْحَمْدِ أَقْطَعُ

Setiap perkara penting yang tidak dimulai di dalamnya dengan ‘alhamdu’, maka berkahnya terputus.” (HR. Ibnu Majah, no. 1894; Abu Daud, no. 4840. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’ifBegitu pula didha’ifkan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly dalam Bahjah An-Nazhirin, 2: 434)

 

Sebagian ulama menghasankan hadits di atas, ada pula yang menshahihkannya. Yang menghasankan hadits tersebut adalah Imam Nawawi dan Ibnu Hajar. Sedangkan Ibnu Daqiq Al-‘Ied dan Ibnul Mulaqqin menyatakan bahwa hadits tersebut shahih.

Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz (lahir tahun 1909, meninggal dunia tahun 1990) dalam Majmu’ Fatawanya (25: 135) menyatakan bahwa sebagian ulama mendhaifkan hadits ini. Yang lebih tepat menurut Syaikh Ibnu Baz, hadits di atas dinilai hasan.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyatakan bahwa secara makna hadits tersebut bisa diterima dan diamalkan karena Allah Ta’ala memulai kitab suci Al-Qur’an dengan bismillah. Begitu pula Nabi Sulaiman ‘alaihis salam menulis surat pada penguasa Saba’ dengan bismillah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Naml: 30)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memulai suratnya pada Raja Heraklius dengan bismillah. Begitu pula kala berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulainya dengan hamdu lillah dan memuji Allah Ta’ala.

Kebanyakan ulama tetap menganjurkan membaca bismillah untuk perkara yang penting. (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 146079)


Beberapa hal yang disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (8: 92) yang dianjurkan membaca bismillah di awalnya (karena sebagian dianjurkan dalam hadits diawali dulu dengan bismillah):

  • Memulai membaca Al-Qur’an dan dzikir.
  • Naik perahu dan kendaraan.
  • Masuk rumah, masuk masjid dan keluar dari rumah dan masjid.
  • Menyalakan dan memadamkan lampu.
  • Sebelum bersetubuh yang halal.
  • Ketika imam naik mimbar.
  • Ketika akan tidur.
  • Masuk dalam shalat sunnah.
  • Menutup wadah (bejana).
  • Memulai menulis.
  • Menutupi mata mayit dan memasukkannya dalam liang lahat.
  • Meletakkan tangan ketika membaca doa (ruqyah) pada anggota tubuh yang sakit.

Disebutkan dalam kitab yang sama, bacaannya adalah “bismillah”, lengkapnya adalah “bismillahirrahmanir rahiim”. Jika lupa membaca bismillah atau meninggalkannya sengaja, maka tidak ada dosa untuknya. Namun jika dilakukan berpahala.

Imam Nawawi Al-Bantani menyatakan bahwa bismillah dibaca pada suatu perkara yang penting atau pada perkara mubah dan tidak termasuk dalam suatu yang haram atau makruh. Namun bismillah tidak untuk suatu perkara yang remeh seperti menyapu kotoran binatang, dan bacaan bismillah bukanlah sebagai bacaan dzikir seperti tahlil. (Kasyifah As-Saja Syarh Safinah An-Najaa, hlm. 26)

Semoga bermanfaat dan jadi ilmu yang penuh berkah.



Sumber https://rumaysho.com/14810-mulailah-dengan-bismillah.html
Share:

Hukum Wudhu di WC

 


Para ulama memakruhkan mengucapkan dzikir kepada Allah di kamar mandi atau di WC, sebagai bentuk mengagungkan nama Allah, yang tidak selayaknya disebut di tempat semacam ini.

An-Nawawi mengatakan:

“Dimakruhkan berdzikir dan berbicara ketika buang hajat. Baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, kecuali karena keadaan terpaksa. Sampai sebagian ulama madzhab kami (syafi’iyah) mengatakan: ‘Jika orang yang di dalam WC ini bersin maka tidak boleh membaca hamdalah, tidak pula mendoakan orang yang bersin, tidak menjawab salam, tidak menjawab adzan. Bahkan orang yang memberi salam kepada orang yang berada di WC dianggap bertindak ceroboh, sehingga tidak berhak dijawab’.”

Berbicara apapun dalam kondisi ini hukumnya makruh, meskipun tidak haram. Dan jika dia bersin, kemudian membaca hamdalah dengan hatinya, namun lisannya diam, maka tidak masalah. Demikian pula yang dilakukan ketika hubungan badan. (Al-Adzkar, Hal. 26)

Selanjutnya An-Nawawi membawakan dalil hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa ada seseorang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang buang air kecil. Orang ini memberi salam, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawabnya. (HR. Muslim)

Seseorang yang berwudhu di kamar mandi, akan menjumpai masalah ketika dia hendak membaca basmalah sebelum berwudhu. Lalu apa yang harus dia lakukan?

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pertama, membaca basmalah dalam hati, tanpa menggerakkan lisan

Syaikh Muhammad Ibn Utsaimin mengatakan:

إذا كان في الحمام ، فقد قال الإمام أحمد : إذا عطس الرجل حمد الله بقلبه، فيُخَرَّج من هذه الرواية أنه يسمي بقلبه

“Apabila seseorang di kamar mandi, Imam Ahmad mengatakan, “Jika dia bersin maka baca hamdalah dalam hati.” Dari beberapa keterangan Imam Ahmad ini, disimpulkan bahwa membaca basmalah dalam hati. (As-Syarhul Mumthi’, 1:102)

Kedua, membaca basmalah dengan diucapkan

Imam Ibnu Baz menjelaskan:

Boleh berwudhu di dalam kamar mandi jika butuh melakukan hal itu. Tetap membaca basmalah di awal wudhu, dia ucapkan: “Bismillah..” karena membaca basmalah hukumnya wajib menurut sebagian ulama, dan sunah muakkad menurut mayoritas ulama.

Oleh karena itu, orang ini tetap disyariatkan membaca basmalah, dan statusnya tidak makruh. Karena hukum makruh itu hilang, ketika ada kebutuhan untuk membaca basmalah. Sementara kita diperintahkan untuk membaca basmalah ketika mengawali wudhu. Maka dia harus membaca basmalah dan menyempurnakan wudhunya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10:28)

Hal yang sama juga difatwakan Komite Fatwa Ulama Saudi:

“Makruh mengucapkan nama Allah di dalam kamar mandi, yang digunakan untuk buang hajat. Sebagai bentuk mensucikan dan memuliakan nama Allah. Namun  disyariatkan membaca basmalah ketika mengawali wudhu, karena basmalah hukumnya wajib ketika ingat, menurut sekelompok ulama.” (Fatwa Lajnah Daimah, 5:94)

Disadur dari: Fatwa Islam tanya jawab no. 23308

Catatan:

Untuk memudhkan kita dalam memahami dua fatwa yang terakhir di atas, kita perlu memahami sebuah kaidah dalam ilmu fikih terkait hukum larangan, baik haram maupun makruh:

Sesuatu yang hukumnya haram, bisa menjadi mubah jika dalam kondisi darurat. Dan sesuatu yang hukumnya makruh bisa menjadi mubah jika ada hajah (kebutuhan).

Berdasarkan keterangan di atas, ulama menegaskan bahwa membaca basmalah di kamar mandi hukumnya makruh. Sementara membaca basmalah ketika wudhu statusnya disyariatkan. Artinya, membaca basmalah ketika wudhu termasuk amal yang dibutuhkan.

Karena ini dalam kondisi dibutuhkan, kita boleh membaca basmalah ketika wudhu di kamar mandi.

Allahu a’lam



Referensi: https://konsultasisyariah.com/12366-hukum-wudhu-di-kamar-mandi.html


Share:

Malam Jum'at Baca Yasin Atau Al-Kahfi ?


Berdasarkan keterangan Al-Baihaqi, kita dapat gambaran bahwa pada malam Jumat orang boleh saja membaca surat Yasin maupun Al-Kahfi.

Umat Islam di Indonesia sangat dekat dengan Alquran. Di antaranya bisa kita liat pada tiap malam Jumat, di masjid, mushalla, atau rumah-rumah penduduk, terdapat sekelompok orang yang bersama-sama membaca bagian tertentu dari Alquran. Hal itu mereka rutin lakukan seminggu sekali.

Kegiatan sosial semacam ini melibatkan berbagai tingkatan sosial di masyarakat, ulama, orang awam, pejabat kampung dan warga biasa. Kegiatan ini menjadi ajang silaturahim antar warga masyarakat di Indonesia. Alquran menjadi pemersatu umat Islam di kampung-kampung, desa, gang-gang, masjid-masjid dan mushalla-mushalla. Bagian Alquran yang sering dibaca adalah surat Yasin. Surat ke ke-36 dalam Alquran. Karena itu, masyarakat Muslim Indonesia menyebutnya Yasinan. Atau forum pembacaan surat Yasin.

Belakangan, kegiatan membaca bagian tertentu Alquran tersebut dipertanyakan sebagian umat Islam. Menurut mereka, kegiatan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah saw. tidak pernah melakukan hal semacam itu. Demikian pula para sahabat dan tabiin. Kegiatan yang termasuk ibadah yang tidak ada contohnya pada masa Rasulullah saw. dinilai bertentangan dengan Islam.

Seringkali, untuk meledek umat Islam yang turut serta dalam kegiatan pembacaan Alquran tersebut, mereka mengatakan “Hanya itu bagian Alquran yang diapal.”, “Pantesan apalannya gak nambah-nambah”, “Amalan semacam itu menyepelekan surat Alquran lainnya,” “Amalan itu tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.”

Ada yang agak bijak dengan menawarkan pengganti surat Yasin. Yaitu surat Al-Kahfi. Mereka bikin selebaran yang isinya, “Yang disunnahkan Al-Kahfi, yang dijalankan Yasinan.” Lalu ada kutipan hadis “Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, yang akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jumat” (HR. Al-Baihaqi)

Penggantian bacaan dalam kegiatan Yasinan sebenarnya tidak ada larangan juga dalam agama. Sebagaimana bacaan Yasin tiap malam Jumat. Tidak dilarang agama. Bahkan dianjurkan. Rasulullah saw. bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ حم الدُّخَان وَيس أَصْبَحَ مَغْفُوْراً لَهُ

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Barang siapa membaca di malam Jumat surat Hamim Ad-Dukhan dan Yasin, maka ia diampuni dosanya ketika masuk waktu pagi.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman)

Al-Baihaqi menyatakan bahwa hadis dari Abu Hurairah tersebut berkualitas daif karena terdapat perawi bernama Hisyam Ibnu Ziyad, murid Abu Hurairah. Namun Al-Baihaqi menyatakan bahwa kedaifan ini dikuatkan dengan riwayat dari Al-Hasan.

Dalam riwayat lain, Al-Baihaqi meriwayatkan dari tabiin besar Abu Qilabah.

عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، قَالَ: ” مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنَ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ، وَمَنْ قَرَأَ الْكَهْفَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ حُفِظَ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَإِذا أَدْرَكَ الدَّجَّالَ لَمْ يَضُرَّهُ وَجَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَمَنْ قَرَأَ يس غُفِرَ لَهُ

Dari Abu Qilabah yang berkata, “Barang siapa menghafal sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, dia akan dijaga dari fitnah Dajjal. Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan dijaga dari satu Jumat ke Jumat berikutnya. Ketika dia menemui Dajjal, ia tidak akan membahayakannya. Pada hari kiamat, wajahnyaakan bersinar seperti rembulan pada malam purnama. Barang siapa membaca surat Yasin, dia akan diampuni.” (HR. Al-Baihaqi)

Setelah menyebutkan riwayat tersebut, Al-Baihaqi menyatakan,

هَذَا نُقِلَ إِلَيْنَا بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِنْ قَوْلِ أَبِي قِلَابَةَ وَكَانَ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِينَ، وَلَا يَقُولُهُ إِنْ صَحَّ ذَلِكَ عَنْهُ إِلَّا بَلَاغًا

“Hadis ini dinukil kepada kami dengan sanad ini dari ucapan Abu Qilabah. Beliau adalah salah satu dari Kibarut Tabiin (Tabiin Senior). Beliau tidak akan mengatakan hal semacam itu jika riwayat ini benar dari beliau, kecuali berdasarkan riwayat dari Rasulullah saw.” (Syu’ab Al-Iman, 4/99)

Berdasarkan keterangan Al-Baihaqi di atas, kita dapat gambaran bahwa pada malam Jumat orang boleh saja membaca surat Yasin maupun Al-Kahfi. Jadi, jika kamu disuruh milih, pada malam Jumat baca surat Yasin atau Al-Kahfi, kamu pilih yang mana? Boleh pilih salah satunya. Tapi lebih baik dibaca semuanya. Di rumah baca Al-Kahfi. Di masjid dan rumah tetangga yang sedang Yasinan, baca surat Yasin. Yuk, Yasinan!

Sumber: harakahislamiyah.com

Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum