(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

FIQIH QURBAN Lengkap


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2).

Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied”. Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366).

Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)

Pengertian Udh-hiyah

Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Keutamaan Qurban

Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)

Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban.

Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban.

Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).

Hukum Qurban

Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:

  • Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan.
    [su_spacer]
    Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
    [su_spacer]
    Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408)
    [su_spacer]
    Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
    [su_spacer]
  • Kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan).
    [su_spacer]
    Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain.
    [su_spacer]
    Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
    [su_spacer]
    Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
    [su_spacer]
    Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)

Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat.

[su_highlight background=”#fff454″]Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)[/su_highlight]

[su_spacer]

[su_note note_color=”#abd3ff”]Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).[/su_note]

Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban

Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu.

Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma‘ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406)

Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)

Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.

Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).

[su_highlight background=”#fff454″]Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.[/su_highlight]

[su_spacer]

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya.

Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349).

Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[su_note note_color=”#abd3ff”]Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.[/su_note]

Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban.

Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan?

Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.

Ketentuan Untuk Sapi & Onta

Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)

Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.

Arisan Qurban Kambing?

Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang.

Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang.

Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*)

Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.

(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).

Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.

Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826).

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455).

Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).

Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang.

[su_note note_color=”#abd3ff”]Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera dilunasi.[/su_note]

[su_highlight background=”#fff454″]Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik.[/su_highlight]

[su_spacer]

Wallahu a’lam.

Qurban Kerbau?

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975).

Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.

Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.

Pertanyaan:

“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”

Beliau menjawab:

“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)

[su_highlight background=”#fff454″]Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi.[/su_highlight]

[su_spacer]

Wallahu a’lam.

Urunan Qurban Satu Sekolahan

Terdapat satu tradisi di lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?

Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari’at.

Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah.

Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan.

Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang.

Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.

Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?

Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:

  • Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup.
    [su_spacer]
    Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
    [su_spacer]
  • Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
    [su_spacer]
    Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765).
    [su_spacer]
    Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    [su_spacer]
  • Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal.
    [su_spacer]
    Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan, jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51).

Umur Hewan Qurban

Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)

Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:

No.

Hewan

Umur minimal

1.

Onta

5 tahun

2.

Sapi

2 tahun

3.

Kambing jawa

1 tahun

4.

Domba/ kambing gembel

6 bulan
(domba Jadza’ah)

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)

Cacat Hewan Qurban

Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:

Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):

  • Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan.
    [su_spacer]
    Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
    [su_spacer]
  • Sakit dan tampak sekali sakitnya.
    [su_spacer]
  • Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
    [su_spacer]
  • Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).

Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):

  • Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
    [su_spacer]
  • Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.

Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban.

Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam

(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)

(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi).

Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)

(***) Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)

Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan

Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna.

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32).

Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk.

Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)

Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan).

Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama.

Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)

Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?

Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458).

Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:

  • Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
    [su_spacer]
  • Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
    [su_spacer]
  • Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.

Apakah Harus Jantan?

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina.

Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)

Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.

Larangan Bagi yang Hendak Berqurban

Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya).

Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim).

Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/376).

Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?

Jawab: [su_highlight background=”#fff454″]Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya[/su_highlight]. Karena 2 alasan:

  • Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33).

Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)

Tempat Penyembelihan

Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik.

Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).

Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)

Penyembelih Qurban

Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang lain.

Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.”

Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)

Tata Cara Penyembelihan

  • Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
    [su_spacer]
  • Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
    [su_spacer]
  • Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
    [su_spacer]
  • Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
    [su_spacer]
  • Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib.
    [su_spacer]
    Kemudian diikuti bacaan:

    • hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
    • hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
    • Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)

[su_note note_color=”#abd3ff”]Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih.[/su_note]

Wallahu a’lam.

Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?

Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:

  • Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
    [su_spacer]
  • Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)

Pemanfaatan Hasil Sembelihan

Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:

  • Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
    [su_spacer]
  • Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
    [su_spacer]
  • Dihadiahkan kepada orang yang kaya
    [su_spacer]
  • Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.

Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit. Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378).

Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)

Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?

Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843).

Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)

Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.

Jawaban Lajnah:

“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).

[su_note note_color=”#abd3ff”]Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.[/su_note]

(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.

Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan

Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:

من باع جلد أضحيته فلا أضحية له

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)

Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka.

Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.

[su_note note_color=”#abd3ff”]

Catatan:

  • Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
    [su_spacer]
  • Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli.
    [su_spacer]
    Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
    [su_spacer]
  • Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.[/su_note]

Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim)Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)

Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464).

Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.”

Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).

Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)

Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?

Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:

Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”

Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.

(*****) Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit

Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit.

Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan???

Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah.

Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah.

Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan.

Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.

Tidak perlu bingung dan merasa repot.

Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?!

Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala.

Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:

  • Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
    [su_spacer]
  • Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).

Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?

Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni.

Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan.

Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat).

Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380

Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:

  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
  • Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.

Wallaahu waliyut taufiq.

Bagi para pembaca yang ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media Hidayah.

Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.

Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428

***

Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah

Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)

Berdasarkan hadis tersebut, ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)

Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.

Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?

Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).

Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.

***

Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel muslim.or.id



© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/446-fiqih-qurban.html
Share:

Dalil dan asal mula nisfu syaban


Peringatan Malam Nisfu Sya'ban atau malam pertengahan bulan Sya'ban (hari ke-15)   merupakan salah satu malam yang penuh barokah. Dalil mengenai malam Nisfu Sya'ban, amalan dan keutamaannya disebutkan dalam sejumlah hadits. Meski derajat hadits tersebut tidak sampai sahih, menghidupkan malam dengan memperbanyak amalan ibadah seperti membaca Surat Yasin, sholat malam dan puasa sunnah  sangat dianjurkan agar mendapatkan pahala dan keberkahan.

Asal Usul Peringatan Malam Nisfu Sya'ban Direktur Aswaja Center PWNU Jatim, KH Ma'ruf Khozin dalam buku kecil berjudul Mana Dalil Nishfu Syaban menjelaskan, asal usul peringatan Malam Nishfu Sya'ban dilakukan pertama kali oleh para Tabi'in (generasi setelah Sahabat Nabi ) di Syam Syria, seperti Khalid bin Ma'dan (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Makhul (perawi dalam Bukhari dan Muslim), Luqman bin 'Amir (al-Hafidz Ibnu Hajar menilainya 'jujur') dan sebagainya, mereka mengagungkannya dan beribadah di malam tersebut.  Dari mereka inilah kemudian orang-orang mengambil keutamaan Nishfu Sya'ban. Ketika hal ini menjadi populer di berbagai Negara, maka para ulama berbeda-beda dalam menyikapinya, ada yang menerima diantaranya adalah para ulama di Bashrah (Irak).

Namun kebanyakan ulama Hijaz (Makkah dan Madinah) mengingkarinya seperti Atha', Ibnu Abi Mulaikah, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari ulama Madinah dan pendapat beberapa ulama Malikiyah mengatakan: "Semuanya adalah bid'ah". Ulama Syam berbeda-beda dalam melakukan ibadah malam Nishfu Sya'ban. Pertama, dianjurkan dilakukan secara berjamaah di masjidmasjid. Misalnya Khalid bin Ma'dan, Luqman bin Amir dan lainnya, mereka memakai pakaian terbaiknya, memakai minyak wangi, memakai celak mata dan berada di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rahuwaih (salah satu Imam Madzhab yang muktabar), dan beliau mengatakan tentang ibadah malam Nishfu Sya'ban di masjid secara berjamaah: "Ini bukan bid'ah".  Dikutip oleh Harb al-Karmani dalam kitabnya al-Masail. Kedua, dimakruhkan untuk berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya'ban untuk shalat, mendengar cerita-cerita dan berdoa. Namun tidak dimakruhkan jika seseorang salat (sunah mutlak) sendirian di malam tersebut. Ini adalah pendapat al-Auza'i, imam ulama Syam, ahli fikih yang alim. Inilah yang paling tepat, InsyaAllah. (Syaikh al-Qasthalani dalam Mawahib al-Ladunniyah II/259 yang mengutip dari Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaif al-Ma'arif 151) Berikut dalil Nisfu Syaban: 1. Dalam Kitab Sunan Ibn Majah juz 1 halaman 444, hadits nomor 1388: عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ Dari [Ali bin Abu Thalib] ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini…hingga terbit fajar. “

Hadits di atas bernilai dhaif. Meski demikian, Muslim tetap boleh mengerjakan amalan puasa Nisfu Sya'ban dan sholat sunnah mutlak. Namun tidak boleh mengkhususkan, misal mewajibkan dirinya untuk ibadah tersebut hanya pada malam nifsu sya’ban, pada malam lainnya tidak dikerjakan. 2. Dalil kedua Malam Nisfu Sya'abn "Rasulullah bersabda: Sesungguhnya (rahmat) Allah lmendekat kepada hambanya (di malam Nishfu Sya'ban), maka mengampuni orang yang meminta ampunan, kecuali pelacur dan penarik pajak" (HR at Thabrani dalam al-Kabir dan Ibnu 'Adi dari Utsman bin Abi al-'Ash). 3. Dalil ketiga “Rasulullah bersabda: (Rahmat) Allah turun di malam Nishfu Sya’ban maka Allah akan mengampuni semua orang kecuali orang yang di dalam hatinya ada kebencian kepada saudaranya dan orang yang menyekutukan Allah l" (al-Hafidz Ibnu Hajar berkata : Hadis ini hasan. Diriwayatkan oleh Daruquthni dalam as-Sunnah dan Ibnu Khuzaimah dalam at-Tauhid, Baca al-Amali 122) Syaikh al-Munawi berkata: Perawinya terpercaya. Baca Syarah al-Jami' ash-Shaghir 1/551) 4. Dalil keempat Al-Hafidz Ibnu Hajar juga meriwayatkan hadis yang hampir senada dari Katsir bin Murrah: Dari Katsir bin Murrah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Tuhan kalian melihat di malam Nishfu Sya’ban kepada hamban-Nya, maka Ia memberi ampunan kepada mereka semuanya kecuali orang yang menyekutukan Allah ldan memutus kekerabatan” (Al-Mathalib Al-Aliyah 3/242) 5. Dalil kelima أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْمَنْصُوْرِيُّ النُّوْقَانِيُّ، بِهَا أَخْبَرَنَا أَبُوْ حَاتِمٍ مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ بْنِ أَحْمَدَ الْبُسْتِيُّ، نا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَافَى بِصَيْدَا، نا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْرَقُ، نا أَبُوْ خُلَيْدٍ وَهُوَ عُتْبَةُ بْنُ حَمَّادٍ، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، وَابْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيْهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ يُخَامِرَ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " يَطَّلِعُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ فِي اللَّيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ " Artinya: "Dari Mu’adz bin Jabal, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:”Allah memperhatikan kepada semua mahkluk-Nya pada malam Nisfu Syaban. Maka, Dia memberi ampunan kepada semua mahkluk-Nya, kecuali kepada orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan.” 6. Dalil Keenam Dalam Kitab Sunan Tirmidzi juz 2 halaman 121-122, hadits nomor 736, cetakan ke II tahun 1403 H, Daarul Fikr, Beirut: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِيْ كَثِيْرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيْعِ فَقَالَ أَكُنْتِ تَخَافِيْنَ أَنْ يَحِيْفَ اللهُ عَلَيْكِ وَرَسُوْلُهُ ؟ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَاءَكَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ "Dari Urwah, dari Aisyah, beliau berkata “Pada suatu malam, saya kehilangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka saya pun keluar mencarinya, ternyata beliau ada di Baqi’, beliau bersabda: “Apakah kamu takut Allah dan Rasulnya mengabaikanmu?”. Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, saya mengira engkau mengunjungi sebagian di antara istri-istri engkau”. Nabi bersabda: “Sesungguhnya (rahmat) Allah turun ke langit yang paling bawah pada malam Nisfu Syaban dan Ia mengampuni dosa-dosa yang melebihi dari jumlah bulu kambing milik suku Kalb”. 7. Dalil Ketujuh ( قَالَ الشَّافِعِيُّ ) وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْ خَمْسِ لَيَالٍ فِيْ لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ Imam Syafi’i berkata: Telah sampai kepada kami bahwa doa dikabulkan dalam lima malam, yaitu: - Malam Jumat- Malam Al Adha- Malam Al Fithri- Malam awal Rajab- Malam Nishfu Sya’ban.

Amalan Malam Nisfu Sya'ban 1. Membaca Yasin di Malam Nishfu Sya'ban “Adapun pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib merupakan hasil ijtihad sebagian ulama, konon ia adalah Syeikh Al Buni, dan hal itu bukanlah suatu hal yang buruk”. (Syaikh Muhammad bin Darwisy, Asná al-Mathálib, 234) “Diantara keistimewaan surat Yasin, sebagaimana menurut sebagian para Ulama, adalah dibaca pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 3 kali. Yang pertama dengan niat meminta panjang umur, kedua niat terhindar dari bencana dan ketiga niat agar tidak bergantung kepada orang lain”. (Fathu al-Malik al-Majíd, 19) 2. Berdoa di Malam Nisfu Sya'ban Ibnu Mas’ud berkata: “Tidak seorang pun berdoa dengan beberapa doa berikut kecuali Allah lakan melapangkan hidup baginya: “Wahai Dzat pemberi anugerah, maka tak ada yang mampu memberi anugerah pada Mu. Wahai Dzat yang agung dan mulia, pemberi anugerah dan nikmat. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Wahai penolong pengsungsi, pelindung para pencari perlindungan, pemberi rasa aman bagi yang ketakutan. Jika Engkau menakdirkan aku di Lauh Mahfudz sebagai orang yang celaka, maka hapuskanlah. Dan tetapkanlah aku disisi Mu sebagai hamba yang beruntung dan mendapat pertolongan pada kebaikan. Engkau berfirman dalam Al-Quran: “039. Allah lmenghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf 7/85) 3. Salat Sunah Di Malam Nishfu Sya’ban Melaksanakan salat sunah secara mutlak dijelaskan dalam hadis: Sabda Nabi : “Salat adalah sebaik-baik syariat, siapa yang ingin memperbanyak maka perbanyaklah, dan siapa yang ingin melakukan sedikit maka lakukanlah” (Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini dinilai sahih oleh Ibnu Hibban. Fath Al-Bari 2/479). Hadis inilah yang dijadikan dalil oleh Mufti Mesir dalam melaksanakan salat sunah mutlak, namun harus menjaga betul dengan niat salat tersebut agar tidak diniati dengan niat salat yang tidak ada tuntunannya. 4. Puasa Nisfu Syaban Puasa di hari ke 15 bulan Sya’ban atau siang hari Nisfu Sya’ban ada yang menyatakan bidah, namun tidak demikian menurut mayoritas para ulama: Puasa pada hari Nishfu Sya’ban tidaklah dilarang. Sebab termasuk harihari purnama (tanggal 13-14-15 Hijriyah) yang dianjurkan untuk berpuasa di setiap bulan. Sungguh telah ada perintah puasa pada pertengahan Sya’ban secara khusus. Disebutkan dalam Sunan Ibni Majah dengan sanad yang dlaif: Ddiriwayatkan dari Ali, dari Nabi : “Jika ada malam Nishfu Sya’ban maka ibadahlah di malamnya dan puasalah di siang harinya. Sebab (rahmat) Allah lturun di malam itu sejak terbenam matahari ke langit yang paling dekat. Allah lberfirman: “Adakah yang meminta ampunan maka Aku ampuni dia, adakah yang minta rezeki maka Aku beri dia rezeki, adakah orang yang diberi musibah maka Aku sembuhkan, dan bentuk permintaanpermintaan yang lain, hingga terbit fajar” (Lathaif Al-ma’arif 1/151). Demikian penjelasan dalil Nisfu Sya'ban, asal usul peringatan dan amalan-amalannya. Wallahu A'lam Bish Showab.


Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul " Dalil Nisfu Sya'ban, Asal Usul Peringatan dan Amalan-Amalannya ", Klik untuk baca: https://www.inews.id/lifestyle/muslim/dalil-nisfu-syaban-asal-usul-peringatan-dan-amalan-amalannya/3.


Share:

Silsilah Nabi Muhammad SAW

 

Silsilah Nabi Muhammad SAW

Silsilah Nabi Muhammad SAW

Foto: Silsilah Nabi Muhammad SAW (Freepik.com/wirestock)

Setiap Nabi yang diutus Allah SWT pasti punya hubungan darah dengan Nabi Adam AS, tak terkecuali Nabi Muhammad SAW.

Nabi Adam AS merupakan manusia yang pertama kali turun ke bumi.

Menurut Imam Ibnu Hisyam dalam kitab al-Sirah al-Nabawiyyah edisi Umar Abdul Salam Tadmuri, berikut adalah silsilah nabi Muhammad SAW.

Silsilah Nabi Muhammad hingga Adnan:

  • Muhammad bin
  • Abdullah bin
  • Abdul Muthalib/Syaibah bin
  • Hasyim/Amr bin
  • Abdu Manaf/al-Mughirah bin
  • Qushay/Zaid bin
  • Kilab/Hakim/ Urwah bin
  • Murrah/Handzhalah alias Alqamah bin
  • Ka’b bin
  • Luay bin
  • Ghalib bin
  • Fihr / Quraisy bin
  • Malik/Abu al-Harits bin
  • al-Nadlhr/Qais bin
  • Kinanah bin
  • Khuzaimah bin
  • Mudrikah /Amir alias Amr bin
  • Nabi Ilyas A. S bin
  • Mudlhar bin
  • Nizar bin
  • Ma’add bin
  • Adnan

Silsilah Nabi Muhammad dari Adnan Hingga NabI Ibrahim AS:

  • Udda bin
  • Muqawwim bin
  • Naahuur bin
  • Tayrah bin
  • Ya’rub bin
  • Yasyjub bin
  • Nabit bin
  • Nabi Ismail A. S bin
  • Nabi Ibrahim A. S bin

Silsilah Nabi Muhammad dari Nabi Ibrahim AS hingga Nabi Adam AS:

  • Tarih bin
  • Naahuur bin
  • Saaruugh bin
  • Raa’uu bin
  • Faalikh bin
  • Aybar bin
  • Syalikh bin
  • Arfakhsyadz bin
  • Sam bin
  • Nabi Nuh AS bin
  • Lamak bin
  • Mattu Syalakh bin
  • Nabi Idris A. S bin
  • Yard bin
  • Mahlil bin
  • Qaynan bin
  • Yanisy bin
  • Syits bin
  • Nabi Adam AS
Share:

Dalil Keutamaan penghafal Al-qur'an


Dalil-dalil tentang keutamaan orang yang membaca dan menghafal Al Quran pun sangat mudah kita jumpai baik dalam Al Quran maupun hadist. Beberapa di antaranya akan kami sampaikan dalam tulisan ini.

Mendapat Perniagaan Tanpa Merugi

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al Quran) dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir: 29).

Termasuk Orang yang Berserah DIri

إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَٰذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ ۖ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ,وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ ۖ 

Dan firman-Nya: “Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Rabb negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan supaya aku membacakan al-Qur’an (kepada manusia)”. (QS. an-Naml: 91-92).

Al Quran Memberi Syafaat di Akhirat

Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ

Rajinlah membaca al-Quran, karena dia akan menjadi syafaat bagi penghafalnya di hari kiamat. (HR. Muslim 1910).

Orangtuanya Akan Diberi Mahkota Cahaya di Akhirat

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال : بأخذ ولدكما القرآن

Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يجيء القرآن يوم القيامة كالرجل الشاحب يقول لصاحبه : هل تعرفني ؟ أنا الذي كنتُ أُسهر ليلك وأظمئ هواجرك… ويوضع على رأسه تاج الوقار ، ويُكسى والداه حلَّتين لا تقوم لهما الدنيا وما فيها ، فيقولان : يا رب أنى لنا هذا ؟ فيقال لهما : بتعليم ولدكما القرآن

Al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu… ” kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya, dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Quran.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath 6/51, dan dishahihkan al-Albani).

 Golongan Manusia Terbaik

عَنْ عُثْمَانَ – رضى الله عنه- عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ» رواه البخاري

Dari Utsman radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah seorang yang belajar Al Qur`an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 4639).

Tidak Punya Hafalan, Seperti Rumah Kumuh yang Akan Runtuh

Alangkah indahnya hidup kita jika digunakan untuk membaca Al Quran, bahkan dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendorong untuk menghafal Al Quran atau membacanya di luar kepala, sehingga hati seorang individu muslim tidak kosong dari sesuatu bagian dari kitab Allah subhanahu wa ta’ala

Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, “Orang yang tidak mempunyai hafalan Al Quran sedikit pun adalah seperti rumah kumuh yang mau runtuh.” (HR. Tirmidzi).

Menjadi Pemimipin Delegasi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan amanat pada para hafizh dengan mengangkatnya sebagai pemimpin delegasi. Dari Abu Hurairah ia berkata, “Telah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda usianya, beliau bertanya, “Surat apa yang kau hafal? Ia menjawab, ”Aku hafal surat ini.. surat ini.. dan surat Al Baqarah.” Benarkah kamu hafal surat Al Baqarah?” Tanya Nabi lagi. Shahabi menjawab, “Benar.” Nabi bersabda, “Berangkatlah kamu dan kamulah pemimpin delegasi.” (HR. At-Turmudzi dan An-Nasa’i).

Termasuk Dalam Derajat Kenabian

Nikmat mampu menghafal Al Quran sama dengan nikmat kenabian, bedanya ia tidak mendapatkan wahyu, “Barangsiapa yang membaca (hafal) Al Quran, maka sungguh dirinya telah menaiki derajat kenabian, hanya saja tidak diwahyukan padanya.” (HR. Hakim).

Kedudukan di Akhirat

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

Telah diriwayatkan oleh Tirmizi, 2914 dan Abu Daud, 1464 dari Abdullah bin Amr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dikatakan kepada pemilik Al-Qur’an, bacalah dan mendakilah. Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membaca secara tartil di dunia. Karena kedudukanmu di akhir ayat yang engkau baca.” (Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albany dalam As-silsilah As-Shahihah, 5/281 no. 2240)

Keluarga Allah di Bumi

Hafizh Quran adalah keluarga Allah yang berada di atas bumi. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al Quran. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya.” (HR. Ahmad)

Berlipatganda Pahala yang Didapat

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu hasanah, dan hasanah itu akan dilipatgandakan sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, namun Alif itu satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.”  (HR. At Turmudzi).

Dikaruniai Kekayaan yang Berlimpah

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Tidak boleh ada hasad (kecemburuan) kecuali pada dua hal. (Pertama) kepada seorang yang telah diberi Allah (hafalan) Al Qur`an, sehingga ia membacanya siang dan malam. (Kedua) kepada seorang yang dikaruniakan Allah harta kekayaan, lalu dibelanjakannya harta itu siang dan malam (di jalan Allah).” (HR. Al-Bukhari no. 4638 dan Muslim no. 1350).

Ditemani Para Malaikat

الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أجْرَانِ

Dari ‘Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang mahir membaca Al Qur`an, maka kedudukannya di akhirat ditemani oleh para malaikat yang mulia. Dan orang yang membaca Al Qur`an dengan tertatah-tatah, ia sulit dalam membacanya, maka ia mendapat dua pahala.” (HR. Muslim no. 1329)

Seperti Buah Utrujjah

عن أَبي موسى الأشْعريِّ رضي اللَّه عنهُ قال : قال رسولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « مثَلُ المؤمنِ الَّذِي يقْرَأُ القرآنَ مثلُ الأُتْرُجَّةِ : ريحهَا طَيِّبٌ وطَعمُهَا حلْوٌ ، ومثَلُ المؤمنِ الَّذي لا يَقْرَأُ القُرْآنَ كَمثَلِ التَّمرةِ : لا رِيح لهَا وطعْمُهَا حلْوٌ ، ومثَلُ المُنَافِق الذي يَقْرَأُ القرْآنَ كَمثَلِ الرِّيحانَةِ : رِيحها طَيّبٌ وطَعْمُهَا مرُّ ، ومَثَلُ المُنَافِقِ الذي لا يَقْرَأُ القرآنَ كَمَثلِ الحَنْظَلَةِ : لَيْسَ لَها رِيحٌ وَطَعمُهَا مُرٌّ » متفقٌ عليه

Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Perumpamaan orang yang membaca Al Qur`an adalah seperti buah Utrujjah, rasanya lezat dan baunya juga sedap. Sedang orang yang tidak membaca Al Qur`an adalah seperti buah kurma, rasanya manis, namun baunya tidak ada. Adapun orang Fajir yang membaca Al Qur`an adalah seperti buah Raihanah, baunya harum, namun rasanya pahit. Dan perumpamaan orang Fajir yang tidak membaca Al Qur`an adalah seperti buah Hanzhalah, rasanya pahit dan baunya juga tidak sedap.” (HR. Al-Bukhari no. 4632 dan Muslim no. 1328)

Masih banyak lagi keutamaan Al Quran dan menghafalkannya, tapi kita sering sekali terlena dengan kesibukan dunia dan segala pesonanya yang menggoda, membuat kita jadi malas melakukannya, karena itu mulai sekarang, yuk luangkan waktumu untuk mulai kembali mendekatkan diri dengan Al Quran.

Share:

Kitab yang biasa dipelajari di pesantren


Anda mau nyantri, atau menyekolahkan anak-anak ke pesantren? Jika iya, Anda perlu tahu dulu kitab yang biasanya dipelajari di pesantren.

Memang, bisa jadi setiap pesantren memiliki kitab khas dan tertentu yang dibahas, namun faktanya ada sebagian kitab yang umum untuk dipelajari. Terutama, oleh pesantren salaf atau yang sudah pesantren berusia tua. Nah, artikel ini akan membahas kitab-kitab yang dimaksud.

Daftar Isi
Ta’lim Muta’allim (Adab)
Jurumiyah (Nahwu)
Matan Taqrib (Fiqih)
Arbain Nawawi (Hadits)
Jauharul Maknun (Balaghah)
Waraqat (Ushul Fiqih)
Sulamul Munawwaraq (Mantiq)
Aqidatul Awam (Aqidah)
Amsilah Tasrifiyah (Sharaf)
Tafsirul Jalalain (Tafsir)

Ta’lim Muta’allim (Adab)

Kitab yang biasanya dipelajari di pesantren ini dikarang oleh Syaikh Az Zarnuji. Kitab ini secara umum merupakan kitab yang membahas ilmu adab mengenai menuntut ilmu. Di dalamnya berisi bagaimana ahlak dan tata krama bagi seorang santri dalam menuntut ilmu. Kemudian juga membahas bagaimana keutamaan orang yang berilmu, macam-macam ilmu yang wajib dikaji, berbagai cara yang dapat meningkatkan hafalan, hal-hal yang dapat membuat hafalan cepat lupa, dsb.

Biasanya Ta’lim Muta’alim akan menjadi kitab pembuka bagi seorang santri sebelum mengkaji kitab-kitab dari berbagai macam fan ilmu. Hal ini ditujukan agar santri nantinya tau adab-adab yang benar ketika melaksanakan proses pembelajaran. Karena memiliki ilmu tanpa adab merupakan suatu hal yang sangat tercela.

Untuk lebih jelas: Kitab Talim Mutaallim: Pengertian, Isi, dan Pengarangnya

Jurumiyah (Nahwu)

Kitab ini merupakan karangan Imam Al Shonhaji yang merupakan seorang ulama nahwu dari wilayah Maghrib (Maroko). Kitab yang membahas ilmu nahwu ini bisa dikatakan merupakan kitab yang paling fenomenal dalam bidangnya. Hal ini dikarenakan kitab ini menjadi rujukan utama hampir di seluruh dunia sebagai kitab dasar bagi seorang pelajar yang ingin menguasai ilmu nahwu.

Di dalam kitab ini, sang penulis menjelaskan tentang bagaimana dasar-dasar ilmu nahwu dengan padat, ringkas, dan sangat jelas. Bahkan biasanya di beberapa pesantren salaf kitab ini tidak hanya dikaji, tetapi juga wajib dihafalkan oleh santri.

Untuk lebih jelas: Kitab Jurumiyah: Pengertian, Isi, Biografi Pengarang, dan Harganya

Matan Taqrib (Fiqih)

Kitab ini merupakan tulisan Al Qadhi Abu Syuja. Secara umum kitab ini membahas mengenai fiqih, khususnya fiqih madzhab Syafii. Karena itulah kitab ini sangat populer di pesantren yang ada di Indonesia, hal ini karena mayoritas muslim di Indonesia merupakan pengikut Mazhab Syafii. Selain itu kitab ini pun terbilang mudah dipahami, karena menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

Di dalamnya, sang muaalif membahas berbagai materi fiqih dasar seperti tata cara shalat, thaharah, haji, jual beli, warisan, hudud, perbudakan, nikah, dan berbagai fiqih dasar lainnya. Sebagai kitab yang sangat fenomenal, kitab ini juga memiliki banyak kitab syarahnya seperti Kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, dsb.

Arbain Nawawi (Hadits)

Kitab ini merupakan buah pikir salah satu ulama besar Mazhab Syafii yaitu Imam An Nawawi. Kitab ini merupakan kumpulan 42 hadits pilihan. Hadits-hadits tersebut menjelaskan mengenai landasan-landasan dalam Islam baik perkara ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), serta hadits-hadits yang berkaitan dengan jihad, zuhud, nasihat, adab, niat-niat yang baik dan semacamnya.

Karena kitabnya yang kecil dan ringkas, kitab ini biasanya menjadi salah satu dari berbagai kitab yang wajib dihafal oleh para santri di pesantren.

Untuk lebih jelas: Kitab Arbain Nawawi: Pengertian, Biografi Pengarang, Isi, dan Syarahnya

Jauharul Maknun (Balaghah)

Kitab ini merupakan karya salah satu ulama dalam bidang nahwu yaitu Syekh Abdurrahman al-Akhdhari yang berasal dari Aljazair. Secara umum kitab yang berbentuk matan-matan ini berisi  tentang materi ilmu balaghah. Ilmu Balaghah adalah ilmu sastra Bahasa Arab. Yang mana ilmu ini bertujuan untuk menjadikan sebuah kalimah dalam bahasa Arab memiliki keindahan lafadz dan makna.

Di dalam kitab ini, sang pengarang telah menjelaskan tentang macam-macam majaz, hakikat, kinayah, tauriyah, thibaq, jinas, muqabalah, dan berbagai materi lain yang berkaitan dengan ilmu balaghah. Selain itu karena kitabnya berbentuk matan-matan, maka terkadang banyak santri yang mencoba untuk menghafal matan kitab ini.

Waraqat (Ushul Fiqih)

Kitab ini merupakan buah pena seorang ulama ushul fiqih dari Iran yaitu Imam Haramain. Kitab yang membahas ilmu ushul fiqih ini bisa dikatakan merupakan kitab yang paling dasar bagi siapapun yang ingin mengkaji ushul fiqih. Karenanya hampir seluruh pesantren salaf di Indonesia menggunakan kitab sebagai pengantar kajian ushul fiqih.

Di dalam tulisannya, muallif menggunakan gaya penulisan ijaz, yakni sedikit lafaz banyak makna. Materi yang tertulis di dalamnya adalah seputar definisi-definisi penting seputar ushul fikih, tanpa menjelaskan satu demi satu dengan penjabaran yang panjang lebar.Karena itulah kitab ini sangat cocok sebagai pengantar untuk memahami Ilmu Ushul fiqih yang notabene termasuk salah satu ilmu yang cukup berat dipahami.

Sulamul Munawwaraq (Mantiq)

Kitab ini merupakan hasil karya dari Syaikh Abdurrahman Al Akhdari yang juga merupakan penulis kitab Jauharul Maknun. Secara umum kitab ini membahas mengenai ilmu mantiq. Mantiq adalah  ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir yang salah.

Karena merupakan ilmu yang sangat sulit dipahami, umumnya kitab ini tidak akan dipelajari oleh para santri pemula. Melainkan hanya akan dikaji dan dipelajari oleh para santri senior yang telah khatam mengkaji Kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Aqidatul Awam (Aqidah)

Kitab yang ringkas ini merupakan buah pikir seorang ulama dari Makkah yaitu Imam Ahmad Al Hasani. Secara umum kitab yang berbentuk matan-matan ini menjelaskan mengenai ilmu tauhid. Isi kandungan kitabnya meliputi berbagai para keimanan seperti sifat wajib, jaiz, dan mustahil Allah. Kemudian membahas mengenai malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, iman kepada hari kiamat, Isra mi’raj dan berbagai perkara keimanan lainnya.

Karena kitabnya yang ringkas dan mudah dipahami, biasanya kitab ini akan dikaji oleh santri pemula. Kemudian karena hanya berisi 58 matan, biasanya para santri di pesantren salaf akan diminta untuk menghafalkan matan-matan yang ada di dalam kitab ini.

Amsilah Tasrifiyah (Sharaf)

Berbeda dengan kitab yang sudah kami ulas di atas, kitab ini merupakan hasil pemikiran seorang ulama Indonesia yaitu KH Muhammad Ma’shum bin Ali. Hebatnya lagi kitab ini beliau ciptakan saat usia beliau baru menginjak usia 19 tahun. Secara umum kitab ini membahas ilmu sharaf. Ilmu sharaf sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk kata dalam bahasa arab.

Nah, di kitab ini sang penulis menyusun berbagai pola-pola perubahan kata dalam Bahasa Arab dengan metode yang mudah untuk dipahami. Selain itu kitab ini juga lebih mengedepankan praktik ketimbang teori. Karena itulah kitab ini selalu dijadikan pegang bagi seluruh santri di Indonesia sebagai pintu dasar untuk memahami ilmu sharaf yang lebih dalam. 

Tafsirul Jalalain (Tafsir)

Kitab ini merupakan buah karya guru dan murid yaitu Imam Jalaludin Al Mahalli dan Imam Jalaluddin As Suyuthi. Kitab yang merupakan tafsir Qur’an ini merupakan kitab tafsir yang paling sering dikaji para santri di pesantren. Hal ini dikarenakan tafsir ini memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki kitab tafsir lainnya.

Diantara kelebihan Tafsir Jalalain adalah: Mudah dipahami, tidak bertele-tele, Menyebut pendapat yang rajih (kuat) jika ada ikhtilaf, dan terkadang menyebutkan sisi i’rab dan qira’at secara ringkas.

Nah, demikianlah deretan kitab yang biasanya dipelajari di pesantren. Penasaran? Yuk nyantri!

Sumber : https://pesantrenterbaik.com/pesantren/kitab-yang-biasanya-dipelajari-di-pesantren/

Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum