‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب) (lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi) adalah khalifah keempat yang berkuasa pada tahun 656 sampai 661. Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Nabi. Secara silsilah, 'Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad. Pernikahan 'Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad.
Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, 'Ali telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa kenabian, meski usianya terbilang muda bila dibandingkan sahabat utama Nabi yang lain. 'Ali mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris dan pembawa pesan Nabi. 'Ali juga ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.
Sepeninggal Nabi Muhammad, 'Ali diangkat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam setelah Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman. Dalam sudut pandang Sunni, 'Ali bersama tiga pendahulunya digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin.[4] Di sisi lain, kelompok Syi'ah memandang bahwa 'Ali yang harusnya mewarisi kepemimpinan umat Islam begitu mangkatnya Nabi Muhammad atas tafsiran mereka dalam peristiwa Ghadir Khum, membuat kepemimpinan tiga khalifah sebelumnya dipandang tidak sah. Masa kekuasaan 'Ali merupakan salah satu periode tersulit dalam sejarah Islam karena saat itulah terjadi perang saudara pertama dalam tubuh umat Muslim yang berawal dari terbunuhnya 'Utsman bin 'Affan, khalifah ketiga. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status 'Ali dan hak kepemimpinannya atas umat Islam, Sunni dan Syi'ah sepakat mengenai pribadinya yang saleh dan adil.
Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abi Thalib
Ahlussunnah (Sunni)
Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat Nabi yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari Nabi ﷺ. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk).
Sunni menambahkan nama Ali di belakang dengan Radhiyallahu Anhu atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat Nabi yang lain dan pa
Sufi
Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah atau semoga Allah memuliakan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasarkan riwayat bahwa dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun.[butuh rujukan] Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran, bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dahulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari dia bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dia sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Riwayat Hidup
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad ﷺ. Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi ﷺ karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi ﷺ bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Muhammad.
Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini, Ali berusia sekitar 10 tahun.[butuh rujukan]
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi ﷺ karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zahir (eksterior) atau syariah dan batin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Dia tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Madinah
Pernikahan[sunting | sunting sumber]
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.[5]
Julukan[sunting | sunting sumber]
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi ﷺ bersabda:
- "Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar