(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

Sholawat


Shalawat berasal dari kata Shalat dan bentuk jama'nya menjadi shalawat yang berarti doa untuk mengingat Allah secara terus-menerus.

1. Apakah shalawat ini banyak macamnya?
2. Bagaimana cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah? Apakah dilakukan sendiri atau berjama’ah, dengan suara keras atau sirr (pelan)?
3. Bolehkah sambil diiringi rebana (alat musik)?
[Abdullah S.Aga. Kota Kembang, Jawa Barat]
Jawaban.
Alhamdulillah, sebelum menjawab pertanyaan saudara Abdullah S.Aga, kami ingin menyampaikan, bahwa amal ibadah akan diterima oleh Allah jika memenuhi syarat-syarat diterimanya ibadah. Yaitu ibadah itu dilakukan oleh orang yang beriman, dengan ikhlas dan sesuai Sunnah (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Akan tetapi pada zaman ini, alangkah banyaknya orang yang tidak memperdulikan syarat-syarat di atas. Maka pertanyaan yang saudara ajukan ini merupakan suatu langkah kepedulian terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberi taufiq kepada kita di atas jalan yang lurus.
Perlu kami sampaikan, bahwasannya shalawat kepada Nabi merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Tetapi banyak sekali penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan banyak orang seputar shalawat Nabi. Berikut ini jawaban kami terhadap pertanyaan saudara.
1. Shalawat Nabi memang banyak macamnya. Namun secara global dapat dibagi menjadi dua.
a. Shalawat Yang Disyari’atkan.
Yaitu shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Bentuk shalawat ini ada beberapa macam. Syaikh Al Albani rahimahullah dalam kitab Shifat Shalat Nabi menyebutkan ada tujuh bentuk shalawat dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat hafizhahullah di dalam kitab beliau, Sifat Shalawat & Salam, membawakan delapan riwayat tentang sifat shalawat Nabi.
Di antara bentuk shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ (فِي رِوَايَةٍ: وَ بَارِكْ) عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
(Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kamaa shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala aali Ibrahim, innaKa Hamidum Majid. Allahumma barik (dalam satu riwayat, wa barik, tanpa Allahumma) ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama barakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, innaKa Hamiidum Majid).
Ya, Allah. Berilah (yakni, tambahkanlah) shalawat (sanjungan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. Ya, Allah. Berilah berkah (tambahan kebaikan) kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji (lagi) Maha Mulia. [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya. Lihat Shifat Shalat Nabi, hlm. 165-166, karya Al Albani, Maktabah Al Ma’arif].
Dan termasuk shalawat yang disyari’atkan, yaitu shalawat yang biasa diucapkan dan ditulis oleh Salafush Shalih.
Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al ‘Abbad hafizhahullah berkata, ”Salafush Shalih, termasuk para ahli hadits, telah biasa menyebut shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebut (nama) beliau, dengan dua bentuk yang ringkas, yaitu:
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (shalallahu ‘alaihi wa sallam) dan
عَلَيْهِ الصّلاَةُ وَالسَّلاَمُ (‘alaihish shalaatu was salaam).
Alhamdulillah, kedua bentuk ini memenuhi kitab-kitab hadits. Bahkan mereka menulis wasiat-wasiat di dalam karya-karya mereka untuk menjaga hal tersebut dengan bentuk yang sempurna. Yaitu menggabungkan antara shalawat dan permohonan salam atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Fadh-lush Shalah ‘Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 15, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al ‘Abbad]
b. Shalawat Yang Tidak Disyari’atkan.
Yaitu shalawat yang datang dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh Ahli Bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau shalawat itu. Shalawat seperti ini banyak sekali jumlahnya, bahkan sampai ratusan. Contohnya, berbagai shalawat yang ada dalam kitab Dalailul Khairat Wa Syawariqul Anwar Fi Dzikrish Shalah ‘Ala Nabiyil Mukhtar, karya Al Jazuli (wafat th. 854H). Di antara shalawat bid’ah ini ialah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan lain-lain. Termasuk musibah, bahwa sebagian shalawat bid’ah itu mengandung kesyirikan. [1]
2. Cara mengamalkan shalawat yang benar berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
a. Shalawat yang dibaca adalah shalawat yang disyari’atkan, karena shalawat termasuk dzikir, dan dzikir termasuk ibadah. Bukan shalawat bid’ah, karena seluruh bid’ah adalah kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dzikir-dzikir dan do’a-do’a termasuk ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah dibangun di atas ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Tidak seorangpun berhak men-sunnah-kan dari dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang tidak disunnahkan (oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu menjadikannya sebagai kebiasaan yang rutin, dan orang-orang selalu melaksanakannya. Semacam itu termasuk membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak diizinkan Allah. Berbeda dengan do’a, yang kadang-kadang seseorang berdo’a dengannya dan tidak menjadikannya sebagai sunnah (kebiasaan).” [Dinukil dari Fiqhul Ad’iyah Wal Adzkar, 2/49, karya Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhshin Al Badr].
b. Memperbanyak membaca shalawat di setiap waktu dan tempat, terlebih-lebih pada hari jum’ah, atau pada saat disebut nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lain-lain tempat yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali. [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].
c. Tidak menentukan jumlah, waktu, tempat, atau cara, yang tidak ditentukan oleh syari’at.
Seperti menentukan waktu sebelum beradzan, saat khathib Jum’at duduk antara dua khutbah, dan lain-lain.
d. Dilakukan sendiri-sendiri, tidak secara berjama’ah.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir dan termasuk ibadah, sehingga harus mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada dalil yang membenarkan bershalawat dengan berjama’ah. Karena, jika dilakukan berjama’ah, tentu dibaca dengan keras, dan ini bertentangan dengan adab dzikir yang diperintahkan Allah, yaitu dengan pelan.
e. Dengan suara sirr (pelan), tidak keras.
Karena membaca shalawat termasuk dzikir. Sedangkan di antara adab berdzikir, yaitu dengan suara pelan, kecuali ada dalil yang menunjukkan (harus) diucapkan dengan keras. Allah berfirman,
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِفْيَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Dan dzikirlah (ingatlah, sebutlah nama) Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [Al A’raf : 205].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Oleh karena itulah Allah berfirman:
وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ (dan dengan tidak mengeraskan suara), demikianlah, dzikir itu disukai tidak dengan seruan yang keras berlebihan.” [Tafsir Ibnu Katsir].
Al Qurthubi rahimahullah berkata,”Ini menunjukkan, bahwa meninggikan suara dalam berdzikir (adalah) terlarang.” [Tafsir Al Qurthubi, 7/355].
Muhammad Ahmad Lauh berkata,”Di antara sifat-sifat dzikir dan shalawat yang disyari’atkan, yaitu tidak dengan keras, tidak mengganggu orang lain, atau mengesankan bahwa (Dzat) yang dituju oleh orang yang berdzikir dengan dzikirnya (berada di tempat) jauh, sehingga untuk sampainya membutuhkan dengan mengeraskan suara.” [Taqdisul Asy-khas Fi Fikrish Shufi, 1/276, karya Muhammad Ahmad Lauh].
Abu Musa Al Asy’ari berkata.
لَمَّا غَزَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَوْ قَالَ لَمَّا تَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْرَفَ النَّاسُ عَلَى وَادٍ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّكْبِيرِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ وَأَنَا خَلْفَ دَابَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَنِي وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ لِي يَا عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi atau menuju Khaibar, orang-orang menaiki lembah, lalu mereka meninggikan suara dengan takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Pelanlah, sesungguhnya kamu tidaklah menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada. Sesungguhnya kamu menyeru (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia bersama kamu (dengan ilmuNya, pendengaranNya, penglihatanNya, dan pengawasanNya, Pen.).” Dan saya (Abu Musa) di belakang hewan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendengar aku mengatakan: Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kemudian beliau bersabda kepadaku,”Wahai, Abdullah bin Qais (Abu Musa).” Aku berkata,”Aku sambut panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,”Maukah aku tunjukkan kepadamu terhadap satu kalimat, yang merupakan simpanan di antara simpanan-simpanan surga?” Aku menjawab,”Tentu, wahai Rasulullah. Bapakku dan ibuku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda,”Laa haula wa laa quwwata illa billah.” [HR Bukhari, no. 4205; Muslim, no. 2704].
3. Membaca shalawat tidak boleh sambil diiringi rebana (alat musik), karena hal ini termasuk bid’ah. Perbuatan ini mirip dengan kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang-orang Shufi. Mereka membaca qasidah-qasidah atau sya’ir-sya’ir yang dinyanyikan dan diringi dengan pukulan stik, rebana, atau semacamnya. Mereka menyebutnya dengan istilah sama’ atau taghbiir.
Berikut ini di antara perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mengingkari hal tersebut.
Imam Asy Syafi’i berkata,”Di Iraq, aku meninggalkan sesuatu yang dinamakan taghbiir. [2] (Yaitu) perkara baru yang diada-adakan oleh Zanadiqah (orang-orang zindiq ; menyimpang), mereka menghalangi manusia dari Al Qur’an.” [3]
Imam Ahmad ditanya tentang taghbiir, beliau menjawab,”Bid’ah.” [Riwayat Al Khallal. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163].
Imam Ath Thurthusi, tokoh ulama Malikiyah dari kota Qurthubah (wafat 520 H); beliau ditanya tentang sekelompok orang (yaitu orang-orang Shufi) di suatu tempat yang membaca Al Qur’an, lalu seseorang di antara mereka menyanyikan sya’ir, kemudian mereka menari dan bergoyang. Mereka memukul rebana dan memainkan seruling. Apakah menghadiri mereka itu halal atau tidak? (Ditanya seperti itu) beliau menjawab,”Jalan orang-orang Shufi adalah batil dan sesat. Islam itu hanyalah kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Adapun menari dan pura-pura menampakkan cinta (kepada Allah), maka yang pertama kali mengada-adakan adalah kawan-kawan Samiri (pada zaman Nabi Musa). Yaitu ketika Samiri membuatkan patung anak sapi yang bisa bersuara untuk mereka, lalu mereka datang menari di sekitarnya dan berpura-pura menampakkan cinta (kepada Allah). Tarian itu adalah agama orang-orang kafir dan para penyembah anak sapi. Adapun majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya penuh ketenangan, seolah-olah di atas kepala mereka dihinggapi burung. Maka seharusnya penguasa dan wakil-wakilnya melarang mereka menghadiri masjid-masjid dan lainnya (untuk menyanyi dan menari, Pen). Dan bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidaklah halal menghadiri mereka. Tidak halal membantu mereka melakukan kebatilan. Demikian ini jalan yang ditempuh (Imam) Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin.” [Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 168-169]
Imam Al Hafizh Ibnu Ash Shalaah, imam terkenal penulis kitab Muqaddimah ‘Ulumil Hadits (wafat th. 643 H); beliau ditanya tentang orang-orang yang menghalalkan nyanyian dengan rebana dan seruling, dengan tarian dan tepuk-tangan. Dan mereka menganggapnya sebagai perkara halal dan qurbah (perkara yang mendekatkan diri kepada Allah), bahkan (katanya sebagai) ibadah yang paling utama. Maka beliau menjawab: Mereka telah berdusta atas nama Allah Ta’ala. Dengan pendapat tersebut, mereka telah mengiringi orang-orang kebatinan yang menyimpang. Mereka juga menyelisihi ijma’. Barangsiapa yang menyelisihi ijma’, (ia) terkena ancaman firman Allah:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. [An Nisa:115] [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan telah diketahui secara pasti dari agama Islam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyari’atkan kepada orang-orang shalih dan para ahli ibadah dari umat beliau, agar mereka berkumpul dan mendengarkan bait-bait yang dilagukan dengan tepuk tapak-tangan, atau pukulan dengan kayu (stik), atau rebana. Sebagaimana beliau tidak membolehkan bagi seorangpun untuk tidak mengikuti beliau, atau tidak mengikuti apa yang ada pada Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Beliau tidak membolehkan, baik dalam perkara batin, perkara lahir, untuk orang awam, atau untuk orang tertentu.” [5]
Demikianlah penjelasan kami, semoga menghilangkan kebingungan saudara. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin, washalatu wassalaamu ‘ala Muhammad wa ‘ala ahlihi wa shahbihi ajma’in.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mu’jamul Bida’, hlm. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri bin Abi ‘Ulfah; Fadh-lush Shalah ‘Alan Nabi n , hlm. 20-24, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd Al ‘Abbad; Minhaj Al Firqah An Najiyah, hlm. 116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu; Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 72-73, karya Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat
[2]. Sejenis sya’ir berisi anjuran untuk zuhud di dunia yang dinyanyikan oleh orang-orang Shufi, dan sebagian hadirin memukul-mukulkan kayu pada bantal atau kulit sesuai dengan irama lagunya
[3]. Riwayat Ibnul Jauzi, dalam Talbis Iblis; Al Khallal dalam Amar Ma’ruf, hlm. 36; dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9/146. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 163.
[4]. Fatawa Ibnu Ash Shalah, 300-301. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 169
[5]. Majmu’ Fatawa, 11/565. Dinukil dari kitab Tahrim Alat Ath-Tharb, hlm. 165


Read more https://almanhaj.or.id/3275-bagaimana-cara-shalawat-yang-sesuai-sunnah-dan-bolehkah-shalawat-diiringi-dengan-rebana.html
Share:

Hukum merayakan Isro mi'raj




Seorang mukmin, saat menemukan kebenaran yang sebelumnya belum pernah ia ketahui, seperti seorang yang menemukan sebuah barang berharga yang hilang, yang ia cari sepanjang siang dan malam. Bagaimana gerangan perasaannya, manakala berhasil menemukan barang tersebut? Tentu senang dan bahagia. Demikian perumpamaan seorang mukmin, manakala ia menemukan kebenaran, yang sebelumnya belum ia ketahui. Sebelumnya ia tidak sadar kalau ternyata selama ini berada pada jalan yang keliru. Lalu ia menemukan kebenaran yang menyadarkannya dari kekeliruan tersebut. Tentu ia akan merasa bahagia dan berlapang dada untuk menerima kebenaran tersebut.
Sebagai seorang mukmin yang telah berikrar bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘ alaihi wasallam adalah utusan Allah,  tentu ia akan lebih selektif dalam dalam hal amalan ibadah. Bila ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka akan lakukan sebagai bentuk ittiba‘ (mengikuti sunah) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila tidak maka ia akan tinggalkan karena Allah. Karena diantara konsekuensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, adalah ittaba’, atau mencontoh beliau dalam beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah wahai Muhammad: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imron : 31).
Imam Syafi’i mengatakan,
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ  لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 2: 282).
Pembaca yang dirahmati Allah, terkait perayaan Isra Mi’raj, ada nasehat indah dari salah seorang ulama di kota Madinah An-Nabawiyyah; Syaikh Sulaiman ar Ruhaili hafizhahullah. Dimana dalam salah satu majelis di masjid Nabawi beliau ditanya terkait masalah ini. Mari simak pemaparan beliau berikut.
Pertanyaan:
Apakah benar peristiwa Isra dan Mi’raj itu terjadi bulan rajab? Lalu bolehkah kita merayakan peristiwa tersebut? Dan menjadikan hari terjadinya sebagai ‘id (perayaan yang dirayakan secara periodik) setiap tahunnya? Dimana pada hari perayaan tersebut, kita saling memberi ucapan selamat dan saling bertukar hadiah?
Jawab:
Tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj terjadi di bulan Rojab. Benar kita tidak meragukan, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj benar-benar terjadi. Bahkan ini bagian dari perkara agama yang qot’i, tidak boleh seorang muslim meragukannya. Namun kapan peristiwa ini terjadi? Bulan apakah?
Para ulama telah menjelaskan, bahwa tidak ada keterangan riwayat yang menerangkan bulan terjadinya peristiwa Isra Mi’raj. Tidak pula zamannya. Yakni tidak diketahui peristiwa tersebut terjadi pada bulan apa. Tidak pula di sepulah hari dari suatu pulan apapun. Oleh karenanya, para ulama berselisih pendapat dalam masalah penentuan bulan terjadinya Isra dan Mi’raj. Karena disebabkan tidak adanya riwayat shahih yang bisa dijadikan pegangan dalam hal ini.
Maka berangkat dari alasan di atas, tidak boleh kita menjadikan hari ke 27 dari bulan Rojab, sebagai hari Isra dan mi’raj. Dan menetapkan bahwa pada hari itulah terjadi peristiwa Isra Mi’raj. Hari dimana saling memberi ucapan selamat, demi memeriahkan perayaan tersebut. Terkadang pula saling bertukar hadiah.
Pertama, karena memang tidak ada riwayat yang menerangkan bahwa 27 Rojab adalah hari Isra dan Mi’raj.
Kedua, karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam; dimana beliaulah yang diberi Allah nikmat untuk mengalami peristiwa agung ini, dan beliau adalah hambaNya yang paling banyak bersyukur, yang mendirikan shalat sampai pecah-pecahlah telapak kaki beliau; semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan untuk beliau, beliau bersabda:
أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
Tidakkah aku menginginkan untuk menjadi hambaNya yang bersyukur?!”
Semoga shalawat dan salam tercurahkan untuk beliau, namun beliau tidak pernah merayakan malam Isra dan mi’raj tersebut. Beliau juga tidak mengkhususkan malam tersebut dengan shalat tertentu atau mengkhususkan siangnya dengan puasa tertentu. Sementara dalam perkara ini (juga seluruh seluk beluk kehidupan) umat ini dituntut untuk meneladani Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Demikian pula tidak ada keterangan dari para sahabat -semoga Allah meridhoi mereka-, bahwa mereka merayakan peristiwa Isra dan mi’raj. Tidak pula dari generasi tabi’in, tidak pula dari Imam mazhab yang empat; yang dijadikan rujukan -semoga Allah meridhoi para ulama pendahulu kita, seluruhnya-. Tidak ada keterangan dari mereka semua, bahwa mereka merayakan peristiwa ini. Bahkan meski satu patah katapun tentang perayaan ini.
Selanjutnya, wahai hamba Allah, saat Anda mengetahui, bahwa ternyata tidak ada riwayat tentang hari terjadinya peristiwa ini, tidak pula berkaitan dengan perayaannya pada malam maupun siang harinya, ini menunjukkan bahwa para salafus shalih tidak terlalu perhatian dengan waktu terjadinya peristiwa ini. Ini juga menjadi bukti, bahwa mereka tidak pernah merayakan peristiwa Isra dan Mi’raj  (yang diklaim terjadi) pada 27 Rojab ini. Karena andai mereka merayakannya, tentu akan ada riwayat yang menjelaskan mengenai waktu kejadian Isra mi’raj. Dan tentu akan ada penjelasan dari mereka perihal perayaan ini.
Kemudian, sesungguhnya kaidah syariat yang kita sepakati bersama, bahwa agama ini dibangun di atas ittiba‘ (mencontoh Nabi shallallahu’alaihi wasallam). Dan bahwa ibadah itu dibangun di atas dalil (tawqif). Oleh karenanya, tidak selayaknya bagi seorang muslim, untuk melakukan suatu ibadah, kecuali bila ia memiliki cahaya petunjuk dan bimbingan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, yang menerangkan kepada mereka tata cara ibadahnya.
Haknya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam atas kita, adalah kita tidak menyembah Allah kecuali dengan petunjuk yang datang dari beliau shallallahu’alaihi wasallam. Dan setiap amalan ibadah yang dikerjakan, yang tidak ada perintahnya dari Nabi yang mulia ini shallallahu alaihi wa sallam,  maka ibadah tersebut tidak diterima di sisi Allâh. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita dan membimbing kita melalui sabdanya
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”
Dan beliau senantiasa mengulang-ulang nasehatnya dalam setiap khutbah beliau;
إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
Maka alangkah indahnya bila umat ini menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang ada tuntutannya. Karena sungguh andai mereka menyibukkan hari-hari mereka dengan ibadah yang ada sunahnya dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam, maka sungguh dalam hal tersebut ada pengaruh yang besar di hati kaum mukminin; dalam hal kasih sayang diantara mereka, saling mencintai,  persatuan,  kemuliaan mereka, pertolongan untuk mereka atas musuh-musuh mereka, dan akan tampaklah  wibawa umat di hadapan musuh-musuh mereka.
Namun amat disayangkan, banyak dari hamba-hamba Allah, lebih condong kepada amalan-amalan ibadah yang baru, lalu meninggalkan banyak dari amalan yang ada tuntunannya. Dan kekurangan ini kembali pada kekurangan ulama, dan penuntut ilmu, di negeri-negeri mereka, dalam menjelaskan sunah kepada masyarakat, mengajarkan kebaikan kepada mereka,  dan mengajak mereka untuk komitmen terhadap sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Wasiatku untuk seluruh kaum muslimin, untuk bersama bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, melakukan amalan ibadah yang disyariatkan oleh Allah ta’ala,  dan kita mendekatkan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ibadah-ibadah yang dituntukan tersebut.”
Demikian yang beliau sampaikan. Rekaman dari tausiyah beliau, bisa anda simak di sini, di menit ke 06.30 sampai selesai.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk istiqomah di atas sunah NabiNya.
***
Direkam dan diterjemahkan oleh Ahmad Anshori (yang senantiasa butuh akan taufik dan ampunan Nya)
Madinah, 21 Rojab 1436 / 9 Mei 2015
Artikel Muslim.or.id


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/25540-perayaan-isra-miraj-siapa-bilang-tidak-boleh.html


HUKUM MERAYAKAN MALAM ISRA’ MI’RAJ
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du,
Tidak diragukan lagi bahwa isra’ mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” [Al-Isra’: 1]
Telah diriwayatkan dari Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya. Pertama-tama Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkannya lima puluh kali shalat, namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan minta diringankan, sampai akhirnya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Puji dan syukur bagi Allah atas semua nik’matNya.
Tentang kepastian terjadinya malam isra mi’raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari’atkan, tentu Rasulullah telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, Dan jika itu syari’atkan, tentu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dulu melaksanakan setiap kebaikan jika perayaan malam tersebut disyari’’atkan, tentulah merekalah manusia pertama yang melakukannya.
Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling loyal terhadap sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah menunaikan anamat dengan sempurna. Seandainya memuliakan malam tersebut dan merayakannya termasuk agama Allah, tentulah nabi tidak melengahkanya tidak menyembunyikan. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa merayakannya dan memuliakannya sama sekali bukan termasuk ajaran Islam, dan tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa dia telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan telah menyempurnakan nimatnya serta mengingkari orang yang mensyariatkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizinkannya.
Allah telah berfirman.
“Pada Hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat Ku [Al-Ma’idah;3]
Kemudian dalam ayat ini disebutkan,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah sekiranya ada ketetapan yang menentukan (dariAllah) tentulah mereka telah binasa. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih .” [Asy-Syura : 21]
Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits shahih peringatan terhadap bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah-bid’ah itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang bahayanya yang besar dan agar mereka menjahukan diri dari melakukannya, diantaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ,dari Nabi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,.
“Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”
Dalam riwayat Musliim disebutkan,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.”[1]
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir, ia mengatakan, bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.
Amma ba ‘du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.”[2]
An-Nasa’i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan,
“Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka.”[3]
Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah , ia berkata, “Rasulullah mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, tampaknya ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun bersabda,
“Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, ta’at dan patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara baru itu adalah bid ‘ah dan setiap bid’ah itu sesat’.”[4]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini.
Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid’ah. Semua ini karena bid’ah itu merupakan penambahan dalam agama dan syari’at yang tidak diizinkan Allah serta merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam penambahan ritual mereka dan bid’ah mereka yang tidak diizinkan Allah, dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta tuduhan akan ketidaksempurnaannya. Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma’idah: 3]. Serta penentangan yang nyata terhadap hadits-hadits Rasulullah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan perbuatan bid’ah dan peringatan untuk menjauhinya.
Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid’ah ini, yakni bid’ah perayaan malam isra’ mi’raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali tidak termasuk ajaran agama Islam. Kemudian dari itu, karena Allah telah mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang disyari’atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin terhadap bid’ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama. Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[At-Tahdzir minal Bida’, hal.16-20, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc Penerbit Darul Haq]
__________
Footenotes
[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain (1578).
[4]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah (42).


Read more https://almanhaj.or.id/1988-hukum-merayakan-malam-isra-miraj.html


Share:

Cara terbaik mengatasi masalah



Setiap manusia akan memiliki masalah atau cobaan sebagaimana firman Alloh SWT dalamnya Surat al baqarah ayat 155-157

sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (QS. Al-Baqarah: 155) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. Al-Baqarah: 156) Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157)

Dengan berbagai masalah yang muncul Alloh SWT tau bahwa hambanya mampu menghadapinya. sesuai Firman Alloh Surat Al-Baqarah Ayat 286 :


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

Adapun Cara terbaik mengatasi masalah berdasarkan Al-Qur'an Adalah Sebagai berikut :

1. Bertaqwa 

Q.S. At-thalaq Ayat 2 " Barangsiapa bertaqwa , maka akan diberikan solusi "
Apa itu taqwa dijelaskan pada surat al-baqarah ayat 3-4
Dari beberapa rincian taqwa salah satu hal yang dominan adalah sholat, di dalam sholat terdapat do’a-do’a yang salah satu do’anya adalah meminta petunjuk kepada Alloh SWT ( surat al-fatihah ayat 5 ) yang di baca di setiap rakaat sholat, dan yakin bahwa orang yang benar sholatnya, maka akan alloh berikan kemenangan, solusi, dan kebahagiaan ( sesuai dengan kalimat panggilan sholat / adzan “ marilah sholat, marilah meraih kemenangan/kebahagiaan “ ), dan sesuai dengan syarat mendapatkan petunjuk dari ALLOH SWT ( surat al-baqarah ayat 5 )

2.  Sabar dan Sholat
surat albaqarah ayat 45
Surat al baqarah ayat 153
Khusus untuk sebuah kesabaran alloh SWT menjelaskan dalam surat ar-ra’du ayat 13

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang masuk surga itu adalah orang yang sabar

Surat al insiroh
Innama al usri yusro wa innama alusri yusron

3. Banyak mengucap istigfar
Surat nuh ayat 10-13
Dalam ayat di atas di jelaskan jika seseorang meminta ampunan kepada Alloh SWT, maka Alloh SWT akan memberikan rahmatNya.

4. Berdo’a kepada Alloh SWT
Udz uni astajiblakum surat ghofir ayat 60
Bagai mana cara agar doa kita terkabul yaitu
Wadzkur robika taduruan wa hifatan wadhunal zhari minal qauli surat al-araf ayat 205
Dari do’a kita Alloh akan memberikan yang terbaik untuk kita
Surat al-baqarah ayat 2016



Share:

Waktu Terlarang Untuk Sholat


Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا صلاة بعد الصبح حتى ترتفع الشمس، ولا صلاة بعد العصر، حتى تغيب الشمس
Tidak ada shalat setelah shalat shubuh, hingga matahari meninggi. Dan tidak ada shalat setelah shalat ashar hingga matahari tenggelam” ( H.R. Bukhori dan Muslim )

Seorang Muslim tidak boleh shalat sunnah pada waktu-waktu tersebut. Adapun shalat yang terluput, boleh dilakukan di waktu-waktu tersebut. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من نام عن الصلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك
Barangsiapa yang ketiduran sehingga terluput shalat, atau kelupaan, maka hendaknya ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat. Tidak ada kafarah kecuali itu“.

shalat sunnah yang dzawatul asbab (memiliki sebab) boleh kapanpun mengerjakannya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا رأيتم فصلوا وادعوا
Jika kalian melihat gerhana, maka shalatlah

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا تمنعوا أحداً طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار
Tidak terlarang seseorang yang melakukan thawaf untuk shalat di Baitullah di waktu kapanpun yang ia kehendaki, baik siang ataupun malam” (HR. Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih).
Share:

Do'a Populer dari Al-qur'an



رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 23).


رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Furqan: 74).

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Baqarah: 201).

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)” (QS. Al Imran: 8).

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي  وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي
Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku,  dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thaha: 25-28).

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)” (QS. Al Kahfi: 10).

Share:

Dalil Sholat Wajib



Keterangan tentang kewajiban sholat ada pada al-qur'an surat An-Nisa /4 Ayat 103 :

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ( Q.S. An-Nisa :103 ).
Aadapun keterangan waktu-waktu sholat di terangkan pada hadits-hadits berikut :

Sholat Zhuhur

Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).
Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena sholat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril‘Alaihis salam. Disebut juga sholat Al Hijriyah (الحِجْرِيَةُ)[1].
Awal Waktu Sholat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallamdari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ……..
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….”[2].HR. Muslim No. 612.
Akhir Waktu Sholat Zhuhur
Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.
Catatan :
Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan membagi duanya.
Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di Awal Waktunya
Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat zhuhur ketika matahari telah tergelincir”[3].HR. Muslim No. 618
Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat Zhuhur Jika Sangat Panas
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اشْتَدَّ الْبَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ ، وَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat dingin beliau menyegerakan sholat dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan sholat”[4].HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615
Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati waktu akhir sholat.

Sholat ‘Ashar

‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.
Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar, sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho (الوُسْطَى).
Awal Waktu Sholat ‘Ashar
Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ…….
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[5].HR. Muslim No. 612
Akhir Waktu Sholat ‘Ashar
Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.
· Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ
“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya”[6].HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I
· Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[7].HR. Muslim No. 612
· Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar”[8].HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608
Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :
Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malikrodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi”[9].HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,
كُنَّا مَعَ بُرَيْدَةَ فِى غَزْوَةٍ فِى يَوْمٍ ذِى غَيْمٍ فَقَالَ بَكِّرُوا بِصَلاَةِ الْعَصْرِ فَإِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan, “Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”[10].HR. Bukhori No. 553
Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.

Sholat Maghrib

Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,
ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ فَقَالَ قُمْ فَصَلِّ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ…..
“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..”[11].HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
….وَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ…..
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam”[12].HR. Muslim No. 612
Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.
Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,
لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ – أَوْ قَالَ عَلَى الْفِطْرَةِ – مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ
“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit)”[13].HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah.

Sholat ‘Isya’

‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.
Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
….ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ…..
“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama………..”[14].HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
…وَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ….
“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].HR. Muslim No. 612
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul MundzirRohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,
…إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى….
“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”[16].HR. Muslim No. 681
Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”[17].HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi
Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,
وَالْعِشَاءُ أَحْيَانًا يُقَدِّمُهَا ، وَأَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا : إذَا رَآهُمْ اجْتَمَعُوا عَجَّلَ ، وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ
“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”[18].HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233
Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna setelahnya[19]”.HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237

Sholat Shubuh/Fajar

Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ka atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.
Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.
Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas[20].HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365
Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. Amin
Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal bin Said Salim hal. 237-249/I Cet. Maktabah Tauqifiyah, Kairo, Mesir
Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.
Penulis: Aditya Budiman bin Usman

[1] Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541.
[2] HR. Muslim No. 612.
[3] HR. Muslim No. 618.
[4] HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.
[5] HR. Muslim No. 612.
[6] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[7] HR. Muslim No. 612.
[8] HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.
[9] HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.
[10] HR. Bukhori No. 553.
[11] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[12] HR. Muslim No. 612.
[13] HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah.
[14] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[15] HR. Muslim No. 612.
[16] HR. Muslim No. 681.
[17] HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi.
[18] HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.
[19] HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.
[20] HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365. 
Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum