(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

Hadits tentang luruskan dan rapatkan dalam sholat berjama'ah


Perintah untuk Meluruskan Shaf

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kita untuk meluruskan shaf dalam shalat. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاةِ
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari no.690, Muslim no.433).
Dalam riwayat lain:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ
“Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf adalah bentuk menegakkan shalat (berjama’ah)” (HR. Bukhari no.723).

Hikmah dalam Meluruskan Shaf

Lurusnya shaf adalah sebab terikatnya hati orang-orang yang shalat. Dan bengkoknya shaf dapat menyebabkan berselisihnya hati mereka. Dari Abu Mas’ud radhiallahu’anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاةِ وَيَقُولُ : ( اسْتَوُوا , وَلا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ 
“Dahulu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: luruskanlah (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula” (HR. Muslim, no. 432).

Perintah untuk Merapatkan Shaf

Selain meluruskan shaf, kita juga diperintahkan untuk merapatkan shaf, sehingga tidak ada celak-celah di antara orang yang shalat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
اقيمو صفوفكم وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري
“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari no.719).
dalam riwayat lain, terdapat penjelasan dari perkataan dari Anas bin Malik,
كان أحدُنا يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه
“Setiap orang dari kami (para sahabat), merapatkan pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan merapatkan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR. Al Bukhari no.725).
Dan wajib menempelkan kaki dengan kaki orang disebelahnya, serta pundak dengan pundak di sebelahnya. Inilah hakekat merapatkan shaf. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أقيموا الصفوف وحاذوا بين المناكب وسدوا الخلل ولينوا بأيدي إخوانكم ، ولا تذروا فرجات للشيطان ومن وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله
“Luruskan shaf dan luruskan pundak-pundak serta tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap saudaramu. Dan jangan kalian biarkan ada celah untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya. Barangsiapa yang memutus shaf, Allah akan memutusnya” (HR. Abu Daud no. 666, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Share:

Bulan Sya'ban



Asal Penamaan Bulan Sya’ban

syabanNama Sya’ban diambil dari kata Sya’bun (Arab: شعب), yang artinya kelompok atau golongan. Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan ini, masyarakat jahiliyah berpencar mencari air.
Ada juga yang mengatakan, mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan. (Lisanul Arab, kata: شعب). Al-Munawi mengatakan, “Bulan Rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan mulia, sehingga mereka tidak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan Sya’ban, bereka berpencar ke berbagai peperangan.” (At-Tauqif a’laa Muhimmatit Ta’arif, Hal. 431)

Hadis Shahih Seputar Sya’ban

1. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ “
“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan: Beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan: Beliau tidak melakukan puasa. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
 2. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
3. A’isyah mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
“Saya pernah memiliki hutang puasa Ramadhan. Dan saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Yahya (perawi hadis); mengatakan, “Karena sibuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
4. Dari Abdullah bin Abi Qois, beliau mendengar A’isyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian dengan bulan tidak sebagaimana bulan yang lainnya. Kemudian beliau lanjutkan dengan puasa setelah terlihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan maka beliau genapkan Sya’ban 30 hari, kemudian puasa.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ad-Daruquthni dan sanadnya dishahihkan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).
5. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al Albani)
6. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan,
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya belum pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut selain di bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, At Turmudzi dan dishahihkan Al Albani)
7. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ
“Bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah puasa satu bulan penuh selain Sya’ban, kemudian beliau sambung dengan ramadhan.” (H.R. An Nasa’i dan disahihkan Al Albani)
8. Dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana Anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa’.” (H.R. An Nasa’i, Ahmad, dansanad-nya di-hasan-kan Syaikh Al Albani)
9. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُقَدِّمُوا صَوْمَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ، وَلَا يَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَوْمٌ يَصُومُهُ رَجُلٌ، فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الصَّوْمَ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari. Kecuali orang yang sudah terbiasa puasa sunnah, maka silahkan dia melaksanakannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
10. Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, At Thabrani, dan disahihkan Al Albani)

Hadis Dhaif Seputar Sya’ban

  • Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Puasa sunnah apakah yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda, “Sya’ban, dalam rangka mengagungkan Ramadhan…”  (HR. At Turmudzi dari jalur Shadaqah bin Musa. Perawi ini disebutkan oleh Ad Dzahabi dalam Ad Dhu’afa, beliau mengatakan: Para ulama mendhaifkannya. Hadis ini juga didhaifkan Al Albani dalam Al Irwa.)
  • Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengtakan, “Suatu malam, saya kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya cari keluar, ternyata beliau di Baqi’….Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala turun pada malam pertengahan bulan Sya’ban ke langit dunia. Kemudian Dia mengampuni dosa yang lebih banyak dari pada jumlah bulu kambingnya suku Kalb.” (HR. Ahmad, At Turmudzi, dan didhaifkan Imam Al Bukhari dan Syaikh Al Albani)
  • Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk malam pertengahan bulan Sya’ban, maka shalat-lah di siang harinya. Karena Allah turun ke langit dunia ketika matahari terbenam. Dia berfirman: Mana orang yang meminta ampunan, pasti Aku ampuni, siapa yang minta rezeki, pasti Aku beri rezeki, siapa…. sampai terbit fajar.” (HR. Ibn Majah. Di dalam sanadnya terdapat Ibn Abi Subrah. Ibn Hajar mengatakan: Para ulama menuduh beliau sebagai pemalsu hadis. Hadis ini juga didhaifkan Syaikh Al Albani)
  • Hadis: “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Riwayat Abu Bakr An Naqasy. Al Hafidz Abul Fadhl Muhammad bin Nashir mengatakan: An Naqasy adalah pemalsu hadis, pendusta. Ibnul Jauzi, As Shaghani, dan As Suyuthi menyebut hadis ini dengan hadis maudhu’)
  • Hadis: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil: “Hai Ali, siapa yang shalat seratus rakaat di malam pertengahan bulan Sya’ban, di setiap rakaat membaca Al Fatihah dan surat Al Ikhlas sepuluh kali. Siapa saja yang melaksanakan shalat ini, pasti Allah akan penuhi kebutuhannya yang dia inginkan ketika malam itu…” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2:127 – 128, As Suyuthi dalam Al-Lali’ Al Mashnu’ah, 2:57 – 59, dan ulama pakar hadis lainnya )
  • Hadis: “Siapa yang melaksanakan shalat pada pertengahan bulan Sya’ban dua belas rakaat, di setiap rakaat dia membaca surat Al Ikhlas tiga kali, maka sebelum selesai shalat, dia akan melihat tempatnya di surga.” (Hadis palsu, disebutkan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at, 2:129 Ibnul Qoyim dalam Manarul Munif, Hal. 99, dan dinyatakan palsu oleh pakar hadis lainnya)
Hadis-hadis sahih di atas merupakan dalil keutamaan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, melebihi puasa di bulan lainnya.

Apa Hikmahnya?

Ulama berselisih pendapat tentang hikmah dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, mengingat adanya banyak riwayat tentang puasa ini.
Pendapat yang paling kuat adalah keterangan yang sesuai dengan hadis dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: “Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana Anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syaikh Al Albani)
Kedua, memperbanyak ibadah di malam nishfu Sya’ban
Ulama berselisish pendapat tentang status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut keterangannya:
Pendapat pertama, tidak ada keuatamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al Hafidz Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah –dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban– mengatakan, “Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban’.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, Hal. 33).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Sya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, Hal. 11)
Pendapat kedua, terdapat keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al Albani).
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syaikhul Islam mengatakan, “…pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam Madzhab Hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, 23:123)
Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam nishfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu…” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 247).
Beberapa Peristiwa Penting di Bulan Sya’ban Jumat 5 Mei 2017 06:01 WIB Share: Semula kiblat umat Islam adalah Masjidil Aqsha, kemudian beralih ke Masjidil Haram lewat ayat yang turun pada bulan Sya'ban. (Ilustrasi: nytimes.com) Bulan Sya’ban merupakan bulan yang sangat penting dalam kehidupan Muslim di Indonesia. Karena selain menjadi bulan yang dekat dengan Ramadhan dan sebagai bulan persiapan untuk menghadapi puasa di bulan Ramadhan, ada beberapa hal yang sering diperingati secara rutin setiap bulan Sya’ban, yaitu malam nisfu Sya’ban. Selain malam Nisfu Sya’ban ada juga beberapa peristiwa penting yang terjadi pada bulan Sya’ban. Dalam kitab Ma Dza fi Sya’ban? karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki menyebutkan tiga peristiwa penting yang berimbas pada kehidupan beragama seorang Muslim. 1. Peralihan Kiblat Peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban. Menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surat Al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim Al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban. Peralihan kiblat ini merupakan suatu hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Muhammad SAW. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri menghadap langit setiap hari menunggu wahyu turun perihal peralihan kiblat itu seperti Surat Al-Baqarah ayat 144 berikut. قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ Artinya, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” 2. Penyerahan Rekapitulasi Keseluruhan Amal kepada Allah Salah satu hal yang menjadikan bulan Sya’ban utama adalah bahwa pada bulan ini semua amal kita diserahkan kepada Allah SWT. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengutip sebuah hadits riwayat An-Nasa’i yang meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW. “Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT. Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.” Penyerahan amal yang dimaksud dalam hal ini adalah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh. Walaupun, menurut Sayyid Muhammad Alawi, ada beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan. Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu. 3. Penurunan Ayat tentang Anjuran Shalawat untuk Rasulullah SAW Pada bulan Sya’ban juga diturunkan ayat anjuran untuk bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW, yaitu Surat Al-Ahzab ayat 56. إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Ibnu Abi Shai Al-Yamani mengatakan, bulan Sya’ban adalah bulan shalawat. Karena pada bulan itulah ayat tentang anjuran shalawat diturunkan. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Imam Syihabuddin Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib-nya, serta Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mengatakan bahwa ayat itu turun pada bulan Sya’ban tahun ke-2 hijriyah. Wallahu a’lam. (M Alvin Nur Choironi)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/77660/beberapa-peristiwa-penting-di-bulan-syaban
ADA APA DENGAN BULAN SYA’BAN? Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin[1] Setelah menyampaikan kalimat pembuka, beliau rahimahullah mengatakan : Amma ba’du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya’bân. PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BAN. Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah Radhiyallahu anhuma menceritakan. كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya’bân.”[2] Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3] Dalam riwayat lain Imam Muslim, كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4] Imam Ahmad rahimahullah dan Nasa’i rahimahullah meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang puasa KEDUA, TENTANG PUASA NISFU SYA’BAN. Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam al-Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari ‘Ali Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Azza wa Jalla turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …”[6] Saya mengatakan, “Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullah mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar, hadits itu maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma’in rahimahullah mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadits.” Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh). KETIGA, TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BAN. Ada beberapa riwayat yang dikomentari oleh Ibnu Rajab rahimahullah setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullah menilai sebagiannya shahih dan beliau rahimahullah membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân. Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu Allâh Azza wa Jalla memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.” Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullah menyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullah menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, “Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan. ” as-Syaukâni rahimahullah menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullah menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân. KEEMPAT, TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN. Untuk masalah ini ada tiga tingkatan. Tingkatan Pertama : Shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu Sya’bân tanpa memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Azza wa Jalla. Tingkatan Kedua : Shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân. Ini termasuk bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullah, “Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.” Diatas sudah dijelaskan bahwa Ibnu Rajab rahimahullah menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha rahimahullah menilainya palsu. Hadits seperti ini tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar’i. Para Ulama memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadhâilul a’mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya, (syarat pertama) kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah. (syarat kedua), hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan utama. Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya’bân, syarat-syarat ini tidak terpenuhi. Karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dan yang lainnya. Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melalui sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Syaikh Bin Baz rahimahullah mengatakan, “Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân adalah riwayat palsu.” Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam nisfu Sya’bân diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil. Ada yang mengatakan,, ‘Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya’bân itu adalah riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya’bân, sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu perbuatan bid’ah.’ Tidak diragukan lagi, pendapat yang ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar. Karena Allâh berfirman, yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah/5:3). Seandainya shalat malam nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui ucapan maupun perbuatannya n . Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allâh Azza wa Jalla . Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Azza wa Jalla adalah bid’ah, sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bid’ah itu sesat.” Tingkatan Ketiga. Dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu. As-Syaukâni rahimahullah mengatakan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15), “Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat bathil dan palsu.” KELIMA, TERSEBAR DI MASYARAKAT BAHWA PADA MALAM NISFU SYA’BAN ITU DITENTUKAN APA YANG AKAN TERJADI TAHUN ITU. Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar (lailatul Qadar). Allâh berfirman. حم﴿١﴾وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ﴿٢﴾إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ﴿٣﴾فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ “Haa miim. Demi Kitab (al Qur’ân) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”. [ad-Dukhân/44:1-4]. Malam diturunkannya al-Qur’ân adalah lailatul qadar. Allâh berfirman. إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan. [al-Qadr/97:1] Yaitu pada bulan Ramadhân. Karena Allâh Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’an pada bulan itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman, شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.” [al-Baqarah/2:185] Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya’bân merupakan waktu Allâh Azza wa Jalla menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur’an. KEENAM, ADA SEBAGIAN ORANG MEMBUAT MAKANAN PADA HARI NISFU SYA’BAN DAN MEMBAGIKANNYA KEPADA FAKIR MISKIN Ini yang mereka namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan bid’ah yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Semua bid’ah itu sesat.” Ketahuilah, orang yang membuat kebid’ahan dalam agama Allâh Azza wa Jalla ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan : 1. Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Azza wa Jalla, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [al-Maidah/5:3]. Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red) 2. Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya. 3. Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allâh Azza wa Jalla dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman. أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh?” [as-Syuura/42:21] 4. Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena yang pertama menuduh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu syari’at dan kedua menuduh beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketahui. 5. Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Azza wa Jalla. Ini sangat dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla. 6. Kebid’ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh dalam firmanNya. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, [Ali Imrân/3:105] Dan dalam firman-Nya. إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” [al-An’âm/6:159] 7. Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyari’atkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah membuat suatu kebid’ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syari’at yang sepadan dengannya. Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla berfirman, قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, “Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [Yûnus/10:57-58] Dan firman-Nya. فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ “Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” [Thaha/20:123] Akhirnya saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kami dan kepada saudara-saudara kami kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa mengurusi kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Dermawan dan Maha Pemurah. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] _______ Footnote [1]. Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa beliau, 20/25-33 [2]. HR Bukhâri, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 176 [3]. HR Bukhâri, no. 1970 [4]. HR Muslim, no. 1156 dan 176 [5]. HR Ahmad, 5/201 dan Nasâ’i, 4/102 [6]. HR Ibnu Mâjah, no. 1388

Referensi: https://almanhaj.or.id/3436-ada-apa-dengan-bulan-syaban.html

Share:

QUNUT NAZILAH


QUNUT NAZILAH
Oleh Ustadz  Abu Ismail Muslim Atsari 

MAKNA QUNUT NAZILAH 
Qunut secara bahasa memiliki beberapa arti, yaitu: taat, diam, doa, lama berdiri. Adapun qunut secara istilah fiqih yaitu: doa di dalam shalat pada tempat yang khusus saat berdiri (yakni sesudah ruku’ pada roka’at terakhir). [Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 34/57] Sedangkan Nâzilah artinya musibah besar (Lihat: Mu’jamul Wasith, 2/915, bab: na za la) Sehingga qunut Nâzilah artiya qunut yang dilakukan ketika musibah besar menimpa umat Islam. HUKUM QUNUT NAZILAH Qunut Nâzilah merupakan ibadah yang disyari’atkan menurut pendapat Hanafiyah, Hanabilah, dan masyhur dari pendapat Syafi’iyah dan sebagian Malikiyah. [Lihat: al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 34/66-67] NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

MELAKUKAN QUNUT NAZILAH 
Qunut Nâzilah pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling sedikit Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan dalam tiga peristiwa, yaitu:

1. Qunut Nâzilah Sesudah Perang Uhud (tahun 3 H) 
Hal ini diriwayatkan dalam beberapa hadits berikut ini: Dari Salim, dari bapaknya (Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma): أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ مِنَ الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنَ الفَجْرِ يَقُولُ: اللَّهُمَّ العَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا» بَعْدَ مَا يَقُولُ «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ» فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ} إِلَى قَوْلِهِ – {فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ} Bahwa dia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at akhir dari shalat subuh, beliau berdoa, “Ya Allâh, laknatlah Fulan, dan Fulan, dan Fulan!”, yaitu setelah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan “Sami’allâhu liman hamidah, Rabbanâ wa lakal hamdu.” Kemudian Allâh menurunkan (ayat), “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran/3:128) [HR. Al-Bukhâri, no. 4069] Di dalam riwayat lain, disebutkan nama-nama orang yang didoakan celaka oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Salim bin Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ، وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو، وَالحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ} إِلَى قَوْلِهِ – {فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ} Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan celaka kepada Shofwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan Al-Harits bin Hisyam. Lalu turun ayat, “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran/3:128) [HR. Al-Bukhâri, no. 4070] Qunut Nâzilah ini terjadi sesudah perang Uhud, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama. Dan telah diketahui bahwa perang Uhud terjadi pada tahun 3 Hijriyah. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hal ini terjadi dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud”. [Ma’rifah As-Sunan wal Âtsar, 3/118, no. 3940] Kemudian Imam al-Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalilnya: فَفِي رِوَايَةِ عُمَرَ بْنِ حَمْزَةَ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَاةَ الصُّبْحِ يَوْمَ أُحُدٍ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، فَقَالَ: «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» قَالَ: «اللَّهُمَّ الْعَنْ»، فَذَكَرَهُمْ إِلَّا أَنَّهُ ذَكَرَ أَبَا سُفْيَانَ بَدَلَ سُهَيْلٍ، فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ، أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ} [آل عمران: 128]، فَتَابَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ، فَأَسْلَمُوا، فَحَسُنَ إِسْلَامُهُمْ Di dalam riwayat Umar bin Hamzah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasûlullâh melakukan shalat Subuh (sesudah) perang Uhud, ketika Beliau telah mengangkat kepalanya (dari ruku’) pada raka’at kedua, Beliau mengucapkan “Sami’Allâhu liman hamidah”, Beliau berdoa, “Ya Allâh, laknatlah”. Beliau menyebutkan nama-nama itu, tetapi Beliau menyebut Abu Sufyan sebagai ganti Suhail.   Lalu turun ayat, “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (QS. Ali ‘Imran/3:128) Allâh Kemudian menerima taubat mereka, mereka masuk Islam, dan Islam mereka bagus”. [Ma’rifah As-Sunan wal Aatsar, 3/119, no. 3940] Kemudian Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata: فَكَانَ هَذَا بِأُحُدٍ، وَقَتْلُ أَهْلِ بِئْرِ مَعُونَةَ، كَانَ بَعْدَ أُحُدٍ، وَقَدْ قَنَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ، وَدَعَا عَلَى مَنْ قَتَلَهُمْ، دَلَّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ، لَمْ تُحْمَلْ عَلَى نَسْخِ الْقُنُوتِ جُمْلَةً، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ بَعْدَ نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يَلْعَنُ مَنْ قَتَلَهُمْ بِأَعْيَانِهِمْ شَهْرًا، ثُمَّ تَرَكَ اللَّعْنَ عَلَيْهِمْ، وَيَدْعُو لِلْمُسْتَضْعَفِينَ بِمَكَّةَ بِأَسْمَائِهِمْ، ثُمَّ لَمَّا قَدِمُوا تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ “Maka ini terjadi setelah perang Uhud. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut lagi setelah itu, yaitu mendoakan kecelakaan orang-orang yang telah membunuh para sahabat di Bi’ir Ma’unah. Ini menunjukkan bahwa ayat ini tidak difahami menghapus qunut secara total,  karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melakukan qunut lagi setelah turun ayat ini. Yaitu Beliau melaknat orang-orang yang membunuh para sahabat selama sebulan, kemudian Beliau meninggalkannya. Dan Beliau mendoakan umat Islam yang tertindas di Makkah dengan menyebut nama-nama mereka, kemudian ketika mereka ini sudah sampai (di Madinah) beliau meninggalkan doa untuk mereka”. [Ma’rifah As-Sunan wal Aatsar, 3/119, no. 3944] Termasuk yang menguatkan bahwa ayat di atas turun setelah perang Uhud adalah hadits berikut ini: عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ، فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ، وَيَقُولُ: «كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ، وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ، وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللهِ؟»، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ} Dari Anas, bahwa gigi geraham Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam patah pada perang Uhud, dan kepala Beliau terluka. Beliau mengeluarkan darah dari kepalanya dan berkata, “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan dia mengajak mereka kepada Allâh?”. Kemudian Allâh menurunkan “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Ali ‘Imran/3:128) [HR. Muslim, no.1791] 

2. Qunut Nâzilah Sesudah Peritiwa Bi’ir Ma’unah (tahun 4 H)
Kejadian ini disebutkan di dalam kitab-kitab sejarah terjadi pada tahun 4 Hijriyah. Kejadian ini diriwayatkan di dalam beberapa hadits, antara lain hadits berikut ini: عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَبَنِي لَحْيَانَ، اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ، فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنَ الأَنْصَارِ، كُنَّا نُسَمِّيهِمْ القُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ، كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ، وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ، حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ، فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ العَرَبِ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَبَنِي لَحْيَانَ» قَالَ أَنَسٌ: ” فَقَرَأْنَا فِيهِمْ قُرْآنًا، ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ رُفِعَ: بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا “ Dari Anas bin Malik, bahwa (suku) Ri’il, Dzakwan, Ushoyyah, dan Bani Lahyan meminta bantuan orang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadapi musuh, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan bantuan 70 orang Anshor. Kami menyebut mereka sebagai Qurra’ (Para hafizh) di zaman mereka. Kebiasaan Qurra’ ini adalah mencari kayu bakar di siang hari dan melaksanakan shalat lail di malam hari. Ketika 70 orang Anshor ini berada di Bi’ir Ma’unah, mereka dibunuh dan dikhianati oleh suku Ri’il, Dzakwan, Ushoyyah, dan Bani Lahyan. Berita ini sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Beliau melakukan Qunut Nâzilah selama sebulan pada shalat Shubuh mendoakan kecelakaan terhadap suku-suku Arab itu, yaitu Ri’il, Dzakwan, Ushoyyah, dan Bani Lahyan. Anas berkata, “Kami pernah membaca ayat Qur’an diturunkan tentang orang-orang yang dibunuh tersebut, kemudian ayat tersebut dihapus. (Yaitu ayat): “Sampaikanlah kepada kaum kami, bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridha kepada kami dan kami ridha kepada-Nya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4090] 

3. Qunut Nâzilah untuk para Sahabat yang disiksa di Makkah (tahun 7 H – 8 H) Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bercerita: أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَنَتَ بَعْدَ الرَّكْعَةِ فِى صَلاَةٍ شَهْرًا إِذَا قَالَ «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» يَقُولُ فِى قُنُوتِهِ « اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ نَجِّ عَيَّاشَ بْنَ أَبِى رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِى يُوسُفَ». قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ ثُمَّ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَرَكَ الدُّعَاءَ بَعْدُ فَقُلْتُ أُرَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ تَرَكَ الدُّعَاءَ لَهُمْ – قَالَ – فَقِيلَ وَمَا تَرَاهُمْ قَدْ قَدِمُوا Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut setelah bangkit dari ruku’ di dalam sebuah shalat selama sebulan. Yaitu setelah Beliau mengucapkan “Sami’allâhu liman hamidah”, Beliau berdoa di dalam qunutnya: “Ya Allâh! Selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allâh! Selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allâh! Selamatkanlah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allâh! Selamatkanlah orang-orang lemah dari kaum Mukminin. Ya Allâh! Keraskanlah siksa-Mu kepada suku Mudhar. Ya Allâh! Jadikanlah tahun-tahun paceklik kepada mereka seperti tahun-tahun paceklik di zaman Nabi Yusuf.” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Setelah itu aku lihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan doa (qunut) itu, maka aku  bertanya, “Aku lihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan doa (qunut) untuk mereka”. Maka dijawab,  “Tidakkah engkau lihat mereka sudah sampai (di Madinah)”.[HR. Muslim, no.1574] Kapan doa qunut ini dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam al-Baihaqi menjelaskan hal ini. Beliau rahimahullah berkata: وَهَذَا كَانَ قَبْلَ الْفَتْحِ بِيَسِيرٍ، وَإِنَّمَا أَسْلَمَ أَبُو هُرَيْرَةَ فِي غَزْوَةِ خَيْبَرَ، وَهُوَ بَعْدَ نُزُولِ الْآيَةِ بِكَثِيرٍ، دَلَّ أَنَّ الْآيَةَ لَمْ تُحْمَلْ عَلَى نَسْخِ الْقُنُوتِ “Hal ini terjadi tidak lama sebelum penaklukan kota Makkah. Karena Abu Hurairah masuk Islam pada perang Khaibar, dan ini sangat jauh dari turunnya ayat (Ali Imran ayat:128). Ini menunjukkan bahwa ayat tersebut tidak menghapus qunut”. [Ma’rifah As-Sunan, 3/120, no. 3946] Kemudian perlu diketahui bahwa hadits yang meriwayatkan bahwa turunnya surat Ali Imrân ayat ke-128 adalah dalam peristiwa qunut Nâzilah sesudah kisah Bi’ir Ma’unah atau sesudah qunut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para Sahabat di Makkah, haditsnya dha’if (lemah). Karena telah pasti bahwa turunnya ayat tersebut dalam peristiwa qunut Nâzilah sesudah perang Uhud. Lihat penjelasan Imam al-Baihaqi di dalam kitab Ma’rifah As-Sunan wal Âtsar, 3/117, no. 3935 dan 3936. Hadits tersebut sebagai berikut : Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bercerita: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ حِينَ يَفْرُغُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ، وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ»، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ: «اللهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ، وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِي يُوسُفَ، اللهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ، وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ»، ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ} Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut setelah selesai membaca di dalam shalat Shubuh, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan mengangkat kepala (dari ruku’) Beliau mengucapkan “Sami’allâhu liman hamidah”, kemudian Beliau berdoa dalam keadaan berdiri: “Ya Allâh! Selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah., dan orang-orang lemah dari kaum Mukminin. Ya Allâh! Keraskanlah siksa-Mu kepada suku Mudhar, jadikanlah tahun-tahun paceklik kepada mereka seperti tahun-tahun paceklik di zaman Nabi Yusuf”. Ya Allâh! laknatlah suku Lahyan, Ri’il, Dzakwan, dan Ushayyah, mereka telah bermaksiat kepada Allâh dan Râsul-Nya”. Kemudian sampai kepada kami bahwa Beliau meninggalkannya ketika diturunkan: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran/3: 128) [HR. Muslim, no. 675] Kalimat terakhir di dalam hadits ini, yakni mulai doa laknat kepada suku-suku di atas, sampai kalimat “Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya ketika diturunkan…” adalah dha’if sebagaimana dijelaskan para ahli ilmu. Karena riwayat tersebut munqothi’ (putus). Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perkataan, “Sampai Allâh menurunkan ayat “ Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu”, telah lewat kemusykilannya dalam pembahasan perang Uhud. Karena kisah Ri’il dan Dzakwan terjadi sesudah perang Uhud, sedangkan turunnya ayat “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu”, terjadi dalam kisah perang Uhud. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang menjadi sebab turunnnya datang belakangan setelah turunnya ayat? Kemudian Tampak bagiku kecacatan hadits, yaitu adanya (kalimat) sisipan, bahwa perkataan “Sampai Allâh menurunkan ayat” adalah munqathi’ (putus) dari riwayat Zuhri dari orang yang menyampaikan kepadanya. Ini dijelaskan oleh Imam Muslim dari riwayat Yunus yang telah disebutkan. Zuhri t berkata di sini, “Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meninggalkannya ketika ayat turun”, berita Zuhri ini tidak sah sebagaimana telah kami sebutkan”.  [Fathul Bari, 8/227]

TATA CARA QUNUT NAZILAH 

Dengan hadits-hadits di atas juga hadits lainnya, dapat diringkaskan tata cara qunut Nâzilah sebagai berikut: 1. Disyari’atkan qunut ketika terjadi Nâzilah Sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang telah dibahas di atas 2. Lama qunut Nâzilah adalah sebulan atau ketika musibah sudah selesai Sebagaimana qunut nâzilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendoakan celaka suku-suku yang durhaka, dan mendoakan keselamatan para sahabat di Makkah. 3. Qunut Nâzilah dilakukan di dalam shalat lima waktu Syaikhul Islam berkata, “Disyariatkan doa qunut saat terjadi musibah pada shalat Shubuh dan shalat wajib yang lain, untuk mendoakan kaum Mukminin dan mendoakan keburukan untuk kaum kuffar.” [Majmû’ Fatâwâ, 22/ 270] Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits, antara lain: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: ” قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ، وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ، وَالْعِشَاءِ، وَالصُّبْحِ، فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ، إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، مِنَ الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ، يَدْعُو عَلَيْهِمْ، عَلَى حَيٍّ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ، أَرْسَلَ إِلَيْهِمْ يَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلامِ، فَقَتَلُوهُمْ Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan dan dilakukan berturut-turut pada shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan shalat Shubuh pada setiap raka’at terakhir setelah membaca “Sami’allâhu liman hamidah” Beliau mendoakan kehancuran bagi suku dari Bani Sulaim, Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah. Kemudian orang-orang dibelakangnya mengamini. Nabi mengirim para sahabat kepada mereka untuk mengajak Islam, tetapi mereka membunuh para Sahabat itu” . [HR. Ahmad, no.2746; Abu Dawud, no.1443; dll. Dishahihkan oleh  an Nawawi dalam Al Majmu’, 3/482; Ibnul Qoyyim dalam Zâdul Ma’ad, 1/208/1; Ahmad Syakir dalam Ta’liq Musnad Ahmad; Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad; dan dihasankan al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Dawud] Hal ini juga ditunjukkan hadits berikut ini: عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ ” لَا يُصَلِّي صَلَاةً مَكْتُوبَةً إِلَّا قَنَتَ فِيهَا “ Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melaksanakan shalat wajib kecuali Beliau melakukan qunut padanya. [HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro, no. 3092; Daruquthni, no. 1687; Thobroni dalam Al-Ausath, no. 9450. Dihasankan oleh al-Albani dalam Ashlus Sifat Sholat Nabi, 3/962] 4. Dilakukan pada raka’at terakhir setelah bangkit dari ruku’ Hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits di atas. 5. Qunut Nâzilah dibaca keras oleh imam. Hal ini diketahui dengan doa-doa qunut yang didengar para sahabat, kemudian mereka meriwayatkannya. Ini berarti bahwa doa qunut dibaca dengan keras. Demikian juga makmum mengaminkan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shahih, maka otomatis imam membaca doa itu dengan keras. Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits tentang qunut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat dibunuhnya para pembaca Al Qur’an g menetapkan bahwa doa qunut dibaca dengan suara keras pada setiap shalat. Inilah pendapat yang kuat.” [Al Majmu’, 3/482] 6. Makmun mengaminkan doa qunut Nâzilah. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas di atas. 7. Disyari’atkan mengangkat kedua tangan, namun tidak mengusapkan ke wajah. Anas bin Malik bercerita tentang qunut Nâzilah Nabi ketika dibunuhnya para Qurrâ’: فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَدَ عَلَى شَيْءٍ قَطُّ، وَجْدَهُ عَلَيْهِمْ، فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى  الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ  Aku tidak menemui Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersedih sebagaimana bersedihnya Beliau terhadap (terbunuhnya) mereka. Aku telah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap shalat Subuh mengangkat kedua tangannya mendoakan kecelakaan kepada mereka. [HR. Ahmad, no. 12402. Dishahihkan oleh Syu’aib al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad dengan syarat Imam Muslim] Adapun tidak mengusapkan ke wajah karena tidak ada riwayat shahih dalam masalah ini. 8. Doa qunut Nâzilah adalah ringkas dan sesuai dengan keadaan yang terjadi. Sebagaimana kita lihat doa-doa Nabi di dalam qunut-qunut Beliau. Inilah sedikit pembahasan tentang qunut Nâzilah, semoga bermanfaat bagi kita semua. Al-hamdulillâhi Rabbil ‘Alamin. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Referensi: https://almanhaj.or.id/9470-tuntunan-qunut-nzilah.html
Share:

Corona virus menurut islam


Kiat Menyikapi Wabah Corona Sesuai Ajaran Islam

 5 March 2020
MADANINEWS.ID, JAKARTA — Fenomena wabah virus corona (covid-19) yang muncul di awal tahun 2020 ini semakin lama semakin membuat kekhawatiran di seluruh dunia. Bagaimana tidak, virus yang muncul pertama kali di kota Wuhan provinsi Hubei China ini telah memakan korban lebih dari 2600 nyawa dan menginfeksi sekitar 80.000 jiwa atau lebih.
Virus yang sampai saat ini belum ditemukan penangkalnya telah merambah hampir ke seluruh negara-negara besar di dunia. Mulai dari China, Korea Selatan, Singapura dan lainnya di daratan Asia, hingga ke Italia,Prancis dan lainnya di daratan Eropa. Dan beberapa waktu lalu Presiden Jokowi mengumumkan bahwa kasus virus corona telah menjangkit dua warga Indonesia.
Akibat virus ini, disamping korban yang terus berjatuhan yang mana angkanya telah mendekati hampir ratusan ribu jiwa baik yang meninggal ataupun yang terinfeksi, jutaan manusia lainnya terancam terkena wabah mematikan ini. Di samping itu, tercatat ratusan kota diisolasi, ribuan jalur penerbangan ditutup, bahkan secara khusus Negara Arab Saudi menghentikan sementara kedatangan jamaah umroh guna mengantisipasi tersebarnya wabah ini di dua tanah suci.
Menyikapi epidemi global ini, sebagai seorang muslim hendaklah kita kembali kepada ajaran-ajaran agama kita. Dan berikut ini beberapa kiat-kiat yang dapat kita tempuh sebagai seorang muslim dalam menyikapi wabah virus corona yang sedang mewabah saat ini:
1. Senantiasa meminta perlindungan kepada Allah.
Virus corona adalah makhluk sebagaimana makhluk-makhluk Allah lainnya, dan ia tidaklah bergerak kecuali atas perintah dan izin Allah ta’ala yang menciptakannya. Oleh karenanya, kita berlindung dari wabah ini kepada Allah sebelum kita berlindung kepada kemampuan diri kita sendiri atau kemampuan makhluk lainnya. Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penjaga. Allah berfirman:

(فَٱللَّهُ خَيۡرٌ حَٰفِظٗاۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ)

Maka Allah adalah sebaik-baiknya penjaga dan Dialah Maha Penyayang di antara para penyayang”. (QS Yusuf, Ayat 64).
Berlindung kepada Allah ini bisa dilakukan dengan senantiasa membaca doa-doa pelindung yang bersumber dari Al-Qur’an seperti surat Al-Falaq dan surat An-Nas ataupun dari doa-doa yang bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, seperti doa yang dianjurkan untuk dibaca di pagi dan petang hari:

(بِسمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهَ شَيءٌ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَمَاءِ وَهُوَ السَمِيعُ العَلِيم)

Dengan nama Allah yang tidak membahayakan dengan namaNya segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, dan Ia lah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Doa ini berdasarkan sabda Nabi shallahu alaihi wasallam, bila diamalkan oleh seorang hamba di pagi dan petang hari masing-masing sebanyak tiga kali, maka niscaya tidak akan membahayakannya segala sesuatu apapun yang ada di atas muka bumi ini.
2. Berikhtiar dengan melakukan pencegahan.
Di samping berlindung kepada Allah, tentunya sebagai seorang manusia kita juga harus berikhtiar dengan melakukan usaha-usaha pencegahan agar virus ini tidak menular kepada diri kita atau kepada orang-orang yang kita sayangi. Ikhtiar ini bisa dilakukan dalam skala individu maupun skala berjamaah.
Ikhtiar dalam skala individu dilakukan dengan mengikuti cara-cara yang dianjurkan oleh para ahli dalam bidang ini, seperti rutin menjaga kesehatan, rutin mencuci tangan, rutin memakan dari makanan-makanan yang baik, rutin memakai masker dikeramaian, serta menghindari keluar rumah dan berkumpul di tempat keramaian bila tidak diperlukan.
Adapun ikhtiar dalam skala berjamaah, maka bisa dilakukan dengan cara melakukan pencegahan-pencegahan agar virus ini tidak merambah ke skala yang lebih luas lagi seperti melakukan isolasi kepada mereka-mereka yang terkena virus atau mereka yang tercurigai terkena virus. Dan ikhtiar ini hendaklah dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal ini berdasarkan makna hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi:

(إذا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأرْضٍ، فلاَ تَقْدمُوا عَلَيْهِ، وإذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلا تخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ)

“Apabila kalian mendengar tentangnya (wabah penyakit) di sebuah tempat, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, dan bila kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar daripadanya sebagai bentuk lari daripadanya”. (HR.Bukhari dan Muslim)
3. Bertawakkal kepada Allah.
Setelah melakukan ikthtiar-ikhtiar yang ada, maka pada akhirnya semua kita serahkan kepada Allah. Kita tawakkalkan diri kita kepadaNya. Karena hidup dan mati kita sebagai seorang hamba semua berada di tanganNya. Allah berfirman:

(قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ)

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. (QS Al-An’am, Ayat 162)
Dan perlu kita ketahui bahwa seorang hamba akan tetap hidup bilamana memang ajalnya belum datang, bahkan bila virus corona ataupun virus lainnya yang lebih ganas daripada itu menjangkitinya, namun bila memang sudah ajalnya, jangankan virus corona atau yang lebih dari itu, bahkan digigit semut pun seseorang bisa mati jikalau memang ajalnya telah tiba.
Ajal seseorang pasti datang, namun pertanyaannya adalah apakah yang telah kita persiapkan dari amalan saleh menyambut ajal tersebut? Semoga Allah menutup hidup kita dengan husnul khotimah.
4. Yakin kepada Allah akan kesembuhan.
Bila ada di antara kita yang ditakdirkan oleh Allah tertimpa penyakit ini, maka yakinlah bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penyembuh karena Ia lah Tuhan Yang Maha Penyembuh.
Dan yakinlah juga bahwa tidak ada penyakit yang Allah turunkan, kecuali ada juga obat yang diturunkan bersamanya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ خَلَقَ الدَّاءَ خَلَقَ الدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا ) رواه أحمد (12186) وحسنه الألباني.

Sesungguhnya Allah ketika menciptakan penyakit maka ia menciptakan penyembuhnya, maka berobatlah”. (HR. Ahmad (no:12186) dan dihasankan oleh Imam Albani).
Demikianlah beberapa kiat-kiat dalam menyikapi wabah virus corona ini, dan yang terakhir, mari kita berdoa kepada Allah agar supaya Ia senantiasa menjaga diri kita, keluarga kita, kerabat kita dan orang-orang yang kita sayangi dari terkena wabah virus ini. Mari kita juga berdoa kepada Allah agar Ia senantiasa menjaga negeri kita dan juga negeri-negeri kaum muslimin lainnya dari wabah penyakit mematikan ini. Dan tak lupa juga kita sisipkan doa-doa terbaik kita kepada mereka saudara-saudara kita yang sedang diuji dengan virus ini agar supaya Allah segera menyembuhkan mereka dari penyakit ini.

Kata Raja Salman soal Pandemi Virus Corona 

Jumat 20 Maret 2020 09:30 WIB
Raja Salman bin Abdul Aziz. (Foto: Reuters) Riyadh, NU Online Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz menyampaikan pidato terkait pandemi virus corona (Covid-19) yang menyebar ke ratusan negara, termasuk Saudi. Pidato tersebut disampaikan melalui televisi setempat pada Kamis (19/3) waktu setempat. Dalam pidato itu, diberitakan Arab News, Raja Salman menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengambil langkah pencegahan untuk memerangi virus corona. Dia menyampaikan terima kasih kepada lembaga-lembaga pemerintahan yang bekerja selama wabah berlangsung, terutama para professional di sektor kesehatan.  Raja Salman menuturkan, pihak berwenang akan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan warga Kerajaan selama wabah berlangsung. Dia juga berkomitmen akan melakukan segalanya untuk menjaga kesehatan rakyatnya. Menurutnya, rakyat Saudi telah menunjukkan kekuatannya dalam menghadapi pandemi virus corona.  “Kami mengandalkan keteguhan hati warga kami, tekad dan tanggung jawab mereka untuk melawan virus corona,” kata Raja Salman.    “Saya mengatakannya dengan jujur, tahap selanjutnya (virus corona) akan lebih sulit di tingkat global,” lanjutnya.  Raja Salman telah menerima telepon dari Raja Yordania, Abdullah II. Kedua pemimpin tersebut membahas cara-cara kerja sama dan koordinasi untuk memerangi virus corona dan mencegah penyebarannya. Dilaporkan, virus corona telah menginfeksi 1.300 di negara-negara Teluk, dengan satu orang meninggal di Bahrain. Di Saudi sendiri, menurut data worldometers, kini ada 274 kasus virus corona, di mana delapan di antaranya dinyatakan telah pulih kembali. Sebelumnya, Saudi telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menangkal penyebaran virus corona. Di antaranya menangguhkan shalat jamaah—termasuk Shalat Jumat- di seluruh masjid kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, melarang umat Islam—termasuk warganya sendiri- untuk umrah, menghentikan wisatawan berkunjung ke wilayah Saudi, mensterilisasi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, menutup pelataran tawaf dan lajur sai untuk jamaah umrah, meliburkan sementara sekolah dan universitas di wilayah kerajaan, menutup perbatasan dengan Bahrain, Kuwait, dan UEA. Arab Saudi juga melarang sementara perjalanan ke dan dari hampir semua negara Eropa dan lebih dari 12 negara di Asia dan Afrika. Kebijakan ini diambil setelah kasus virus corona meningkat di Saudi. Pewarta: Muchlishon Editor: Alhafiz Kurniawan

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/117997/kata-raja-salman-soal-pandemi-virus-corona

Ustaz Adi Hidayat Ungkap Obat Virus Corona dalam Al-Qur'an


Ahad, 15 Maret 2020 - 00:25:39 WIB
Ustaz Adi Hidayat Ungkap Obat Virus Corona dalam Al-Qur'anDai yang pernah menimba ilmu di Kuliyya Dakwah Islamiyyah Tripoli Libya, Ustaz Adi Hidayat mengungkap obat penyakit yang disebabkan virus Corona
JAKARTA, HARIANHALUAN.COM - Dai yang pernah menimba ilmu di Kuliyya Dakwah Islamiyyah Tripoli Libya, Ustaz Adi Hidayat mengungkap obat penyakit yang disebabkan virus Corona (Covid-19) ada dalam Al-Qur'an yang mulia.
Pendiri Quantum Akhyar Institute ini menegaskan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya. Penggalan ayat dari tiga surah Al-Qur'an ini diyakini bisa menyembuhkan penyakit termasuk virus Corona atas izin Allah Ta'ala.
"Anatomi tubuh manusia itu terdiri dari tiga bagian sebagaimana dikabarkan Al-Qur'an. Ada fisik (jasad), akal, dan ruh. Mungkin yang dipelajari di ilmu biologi dan kedokteran hanya fokus pada fisik saja. Yang dipelajari dalam ilmu pengetahuan adalah anatomi akal. Sedangkan ruh tidak dipelajari dalam pelajaran formal ataupun ilmu kedokteran. Ini terkait dengan nilai-nilai spiritual," kata Ustaz Adi Hidayat dalam ceramah di Akhyar TV "Quantum Akhyar" yang diunggah akun YouTube 'Gelora Islam' 7 Maret 2020.
Kata Ustaz Adi Hidayat, setiap penyakit biasanya menghantam dua di antara tiga bagian ini. Kalau bukan pada fisiknya maka yang dihantam adalah ruhnya. Kalau penyakit akal biasanya sifatnya malas membaca, malas belajar atau malas mengkaji. Setiap bagian anatomi ini butuh asupan sebagaimana tubuh membutuhkan karbohidrat, protein maupun vitamin.
Terkait penyakit fisik, Al-Qur'an mengajarkan tidak semua yang diinginkan harus dimakan, tetapi konsumsilah yang menyehatkan tubuh dan cari dengan cara yang benar. Sedangkan penyakit akal bisa disembuhkan dengan membaca dan mencari ilmu pengetahuan, itulah nutrisinya. Sedangkan ruh tidak banyak dipelajari. Ketika zaman Nabi, ada yang bertanya kepada Rasulullah SAW. "Ya Muhammad apa esensi ruh, bagaiman sifatnya apa nutrisinya? Maka turunlah Surah Al-Isra' ayat 17: "Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit".
Maka kemudian diberitahulah nutrisi ruh untuk menguatkan nilai-nilai spritual seseorang. Kalau fisiknya sakit tetapi ruhnya sehat, itu boleh jadi daya tahan tubuhnya tetap kuat. Dalam arti dia masih bisa menjalani kehidupan dengan baik.
Akan tetapi jika ruhnya sakit meskipun fisiknya terlihat sehat sesungguhnya dia dalam keadaan lemah dalam menjalani kehidupan. Apa nutrisi ruh? Jawabannya adalah ibadah, makanya kita diperintahkan salat, mengaji, puasa, baca Qur'an, tahajjud. Inilah asupan untuk menguatkan ruh.
"Menyangkut virus Corona ini kita akan bagi menjadi 2 bagian. Pertama, secara fisik apa yang disampaikan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan agar diikuti, bagaimana berperilaku hidup sehat, menjaga kebersihan dan mencari makanan yang dibutuhkan. Ini ikhtiar. Kedua, ada bagian yang sangat penting menyangkut ruh. Karena jika ruhnya lemah akan berpengaruh terhadap kondisi fisik.
Contohnya iri hati, dengki, perasaan pesimis, perasaan tak enak hati. Nabi Ayyub 'alaihissalam diserang penyakit yang begitu kuat, tapi karena ruhnya (nilai spritual) kuat beliau masih bisa menjalani kehidupan. Beliau baru meminta pertolongan kepada Allah Ta'ala ketika penyakitnya telah mengganggu aktivitas ibadahnya.
"Saya ingin memberikan pendekatan spiritual bagaimana agar menguatkan ruh sehingga daya tahan tubuh bisa kuat dan tetap beraktivitas dengan sempurna. Beberapa pekan ini saya menerima pesan tidak hanya di Indonesia tapi saudara-saudara kita di luar negeri di bilangan Korea, Jepang dan beberapa tempat lainnya untuk sekadar salat berjamaah sekarang tidak diizinkan di masjid karena dikhawatirkan tersebarnya virus Covid-19 ini," kata Ustaz Adi Hidayat.
Kita turut mendoakan semoga Allah meringankan dan menghilangkan penyakit ini sehingga memudahkan saudara-saudari kita beribadah. Saya ajarkan ayat-ayat Al-Qur'an untuk mengobati penyakit-penyakit yang kita hadapi saat ini.
Jika seserang tidak tertimpa penyakitnya, kita ikuti pesan Rasulullah SAW. Kata Beliau, yang sakit jangan datang ke tempat perkumpulan. Yang tidak sakit jangan berkunjung ke daerah yang terkena penyakit. "Yang sedang sakit flu, batuk-batuk dan sebagainya misalnya tinggal di rumah saja. Tetapi keyakinan perlu dibangun bahwa ajal itu tidak terkait dengan penyakit, tapi ajal terkait dengan maut," terang Dai lulusan Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut ini.
Seseorang yang ditimpa penyakit belum tentu meninggal, karena banyak orang sehat juga mati seketika. Al-Qur'an mengabarkan bahwa setiap umat ada batas waktu hidupnya. Apabila terkena penyakit atau divonis menjadi bagian dari penyakit itu misalnya terkena Corona, kanker dan penyakit lainnya silakan membaca ayat ini penuh keikhlasan dan permohonan kuat kepada Allah.
"Saya akan gabungkan tiga surah sekaligus. Insya Allah jika dibacakan dengan benar di situ ada janji Allah sebagaimana janji Allah kepada Nabi Ayyub bahwa penyakit apapun selain kematian, Allah akan berkenan menyembuhkannya," kata Ustaz Adi Hidayat meyakinkan. Berikut ayatnya:
1. Al-Qur'an Surah Al-Isra' ayat 82.

"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu) hanya akan menambah kerugian." (Al-Isra': 82)
2. Al-Qur'an Surah Al-Anbiya ayat 83-84.

"Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang." (Al-Anbiya: 83)
"Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami." (Al-Anbiya: 84)
Apabila ingin berdoa bisa membaca kalimat di bawah ini:

'Allahumma Annii Massaniyadh-dhurru wa Anta Arhamur Roohimiin'
Artinya:
Ya Allah Tuhanku, sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.
3. Ditutup dengan Surah Al-Fatihah ayat 1-7.
Nabi SAW pernah mengatakan bahwa Surah Al-Fatihah ini sebagai obat (As-Syifa). Pernah dikisahkan seorang kepala suku tersengat kalajengking dan medis mengatakan tidak mungkin sembuh. Akhirnya dibacakan Surah Al-Fatihah dan Allah memberikan kesembuhan.
Inilah bagian dari ikhtiar ruh, pendekatan-pendekatan spritual yang perlu diamalkan. Adapun obat untuk menyembuhkan segala penyakit bisa ditemukan dalam kalimat Al-Qur'an. Beberapa ayat dalam Al-Qur'an berupa zikir-zikir tertentu yang apabila dilakukan dengan benar akan melahirkan penawar yang tidak ditemukan dalam ilmu kedokteran.
"Semoga Allah memberi kemudahan dan menghilangkan segala kesulitan di sekitaran kita. Insya Allah saudara kita yang meminta penguatan dan doa semoga Allah meringankan musibah yang kita hadapi saat ini," kata Ustaz Adi Hidayat. (*)

Tuntunan Islam Hadapi Virus Corona, Cuci Tangan hingga Lockdown

Rosmha Widiyani - detikNews
Selasa, 17 Mar 2020 17:47 WIB
Massa GNPF MUI akan menggelar aksi damai di Monas, Jakarta, Jumat (2/12/2016) besok. Fasilitas aksi damai seperti panggung dan tempat wudhu telah disiapkan di Monas.
Foto: Lamhot Aritonang/Tuntunan Islam Hadapi Virus Corona, Cuci Tangan hingga Lockdown
Jakarta - 
Hingga kini belum ada obat spesifik menghadapi virus corona, yang masih jadi masalah kesehatan terbesar sepanjang masa. Badan kesehatan dunia bahkan menetapkan status pandemi, karena hampir tak ada negara yang absen dari COVID-19.
Pada masa Rasulullah dan sahabat, umat Islam juga pernah menghadapi serangan wabah penyakit. Cara Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menghadapi wabah penyakit banyak diterapkan di zaman modern, termasuk untuk menghadapi pandemi virus corona atau COVID-19.
Sebut saja, anjuran menjaga kebersihan dengan sering mencuci tangan juga metode karantina yang saat ini populer dengan istilah lockdown. Dan tentu saja berdoa kepada Allah SWT.

Berikut beberapa mekanisme pencegahan wabah penyakit dalam Islam yang bisa diterapkan untuk mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19,

1. Rajin cuci tangan

Hadits yang ditulis berdasarkan perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW, telah menyarankan umat Islam rajin cuci tangan sebelum dan setelah beraktivitas. Ilmu pengetahuan membuktikan, cuci tangan pakai sabun adalah cara efektif mencegah infeksi virus corona atau COVID-19.
Berikut haditsnya,

A. Hadits yang dinarasikan Salman

عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ قَرَأْتُ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ بَرَكَةَ الطَّعَامِ الْوُضُوءُ بَعْدَهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَرَأْتُ فِي التَّوْرَاةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ بَرَكَةُ الطَّعَامِ الْوُضُوءُ قَبْلَهُ وَالْوُضُوءُ بَعْدَهُ ‏"
Artinya: Dinarasikan Salman: Saya membaca di Taurat, berkah makanan ada di wudhu setelah menyantapnya. Lalu aku mengatakannya pada Nabi Muhammad SAW yang aku baca di Taurat. Setelah itu Rasulullah SAW mengatakan, "Berkah pada makanan ada di dalam wudhu sebelum dan setelah menyantap hidangan." (HR Tirmidzi).
Wudhu yang bertujuan mensucikan diri sebelum sholat, diawali cuci tangan sebelum membersihkan bagian tubuh yang lain. Hadits ini memang punya peringkat da'if atau darussalam, bukan shahih yang merupakan derajat tertinggi. Namun dengan kondisi saat ini, tak ada salahnya rajin cuci tangan sebelum atau setelah beraktivitas. Apalagi manfaat cuci tangan telah terbukti dalam berbagai riset ilmu pengetahuan.

B. Hadits yang dinarasikan Abu Huraira

عَنْ جَابِرٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ "‏ إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْرِغْ عَلَى يَدِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَ يَدَهُ فِي إِنَائِهِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِيمَ بَاتَتْ يَدُهُ ‏"‏ ‏.‏
Artinya: Rasulullah SAW mengatakan, "Ketika kamu bangun tidur, dia seharusnya cuci tangan tiga kali sebelum beraktivitas karena dia tidak tahu kondisi tangannya saat malam hari." (HR Muslim).
Hadits berderajat shahih ini kembali mengingatkan pentingnya cuci tangan sebelum melakukan aktivitas. Cuci tangan memastikan tidak ada virus dan bakteri yang berisiko menginfeksi tubuh.

2. Lockdown

Kebijakan lockdown ternyata sempat dilaksanakan di masa Rasulullah SAW saat muslim mengahadapi serangan wabah. Beberapa wabah yang sempat terjadi misal kusta dan diare, bukan virus corona atau COVID-19 seperti yang menyerang sekarang. Lockdown telah ditulis dalam hadits.
Berikut haditsnya

A. Dilarang masuk atau keluar kota dengan wabah

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
Artinya: "Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut." (HR Bukhari).
Hadits ini dinarasikan Usama bin Zaid dengan derajat yang shahih. Thoun adalah wabah yang mengakibatkan penduduk sakit dan berisiko menular, jika penduduk kota tersebut terus mobile.

B. Hikmah bagi muslim yang tidak kabur wilayah dengan wabah

قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ "‏ الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ ‏"
Artinya: "Rasulullah SAW mengatakan, kematian akibat wabah adalah syahid bagi tiap muslim." (HR Bukhari)
Hadits ini dinarasikan Anas bin Malik dengan derajat yang shahih. Dengan tetap berada di wilayahnya, seorang muslim menekan risiko penularan pada orang lain.

3. Sholat dengan masker

Ibadah tentunya jangan sampai tidak dilakukan meski dalam serangan wabah, apalagi untuk sholat wajib. Dalam fatwanya MUI telah menyatakan, Sholat Jumat yang biasanya dilakukan berjamaah bisa diganti dengan sholat dzuhur di rumah masing-masing. Peraturan ini bertujuan menekan risiko penularan virus corona atau COVID-19 jika berada di kerumunan orang.
Terkait pandemi virus corona atau COVID-19 yang terjadi sekarang, penggunaan masker menjadi senjata utama mencegah infeksi. Mungkinkah sholat menggunakan masker dalam kondisi seperti saat ini?
"Bisa," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI atau Majelis Ulama Indonesia DR HM Asrorun Ni'am Sholeh MA dalam pesan pendek yang diterima detikcom.
Hukum sholat dengan daerah sekitar mulut dan hidung tertutup sebetulnya makruh berdasarkan empat mahdzab.
Di Indonesia saat ini ada mahdzab Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Ketetapan ini tentunya bisa berubah sesuai dengan kondisi infeksi virus corona yang dihadapi muslim.

Sebelum COVID-19, Ini 8 Wabah yang Sempat Terjadi pada Masyarakat Islam

Rosmha Widiyani - detikNews
Senin, 30 Mar 2020 15:25 WIB
Muslim ibadah
Foto: Getty Images/Image Source/Sebelum COVID-19, Ini 8 Wabah yang Sempat Terjadi pada Masyarakat Islam
Jakarta - 
Wabah penyakit juga pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat. Kala itu banyak masyarakat yang juga menjadi korban meninggal dunia.
Sebelum COVID-19, masyarakat muslim sempat merasakan beratnya menghadapi wabah penyakit. Meski merugikan, muslim banyak belajar dari wabah sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dikutip dari Was the Plague Disease a Motivating or an Inhibiting Factor in the Early Muslim Community? dari Kepala International Society for History of Islamic Medicine (ISHIM) Abdul Nasser Kaadan MD, PhD dan pengajar di Health Institute of Aleppo Mahmud Angrini MD, berikut 8 wabah yang sempat terjadi pada muslim,

1. Plague of Shirawayh

Wabah ini dipertimbangkan sebagai kejadian epidemik pertama yang terjadi pada masyarakat muslim. Plague of Shirawayh terjadi pada 627-628 M di ibukota Persia. Nama wabah diperoleh dari Siroes, Raja Persia dari Dinasti Sassanian yang meninggal karena penyakit ini pada 629 M. Dalam kitab Tarikh al-Omam wal-Muluk dari Muhammad Al-Tabari dikatakan, wabah ini membunuh banyak warga Persia meski tidak ada pasti jumlah muslim yang meninggal. Bukti dan jejak terkait wabah ini sangat jarang, namun masyarakat Semenanjung Arab kemungkinan bisa melewati wabah ini.

2. Plague of Amwas

Sesuai namanya, Plague of Amwas awalnya menyerang sebuah desa kecil bernama Amwas yang terletak di Palestina atara Jerusalem dan Al-Ramlah. Wabah ini menyerang tentara Arab yang sedang berada di Amwas pada bulan Muharram dan Safar pada 638 dan 639 M. Plague of Amwas kemungkinan adalah bubonic plague berdasarkan catatan Jacob of Edessa.
Sebanyak 2.500 orang meninggal termasuk orang-orang dekat Rasullah SAW yaitu Abu Ubaidah, Yazid bin Abu Sufyan, Muaz bin Jabal dan puteranya Shurahbil din Hasanah, Al-Fadl bin Al-Abbas, Abu Malik Al-Ashari, Al-Hareth bin Hisham, Abu Jandal, Uwais Al-Qarni, serta Suhail bin Amr. Mengutip Al-Tabari, musuh Islam sempat mempertimbangkan penaklukan karena serangan wabah yang melemahkan kekuatan dan membuat panik.
Sebelum wabah sempat terjadi kelaparan parah, hingga tahun ini disebut Al-Ramadah. Di wilayah Suriah dan Palestina, banyak masyarakatnya yang terserang penyakit ini. Banyaknya serangan wabah dipengaruhi rendahnya daya tahan tubuh dan tikus yang terinfeksi bakteri penyebab penyakit. Tikus ini menyerang persediaan pangan dan bersarang dekat sumber air warga.

3. Plague of Kufah

Wabah ini terjadi di Kufah pada 669 M di masa khalifah Muawiyah dari Bani Umayyah. Gubernur setempat Al-Mughirah bin Shubah dilaporkan keluar dari wilayahnya saat terjadi serangan wabah. Dia baru kembali saat serangan mulai reda dan meninggal karena penyakit tersebut pada 670 M. Serangan wabah bertepatan dengan kedatangan tentara Arab ke pesisir Asia melalui Bosphorus pada 668 M. Namun udara dingin, minim baju hangat, dan minimnya sarana lain mengakibatkan mereka terserang wabah serta disentri yang menghancurkan camp.

4. Plague of Al-Jarif (the violent plague)

Jenis wabah ini menyapu Irak selatan lewat Basar seperti banjir kira-kira tahun 688-689 M. Dalam tiga hari sebanyak 70000, 71000, dan 73000 orang telah meninggal pada April 689 M. Kebanyakan korban meninggal pada harus keempat setelah terinfeksi. Masyarakat dan pemerintah kesulitan menguburkan jenazah, sehingga harus mencegah mayat jangan sampai dimangsa hewan buas.
Jenazah akhirnya dikumpulkan dalam satu tempat tertutup dan dikunci, yang diharapkan mencegah kedatangan binatang liar. Tidak ada data pasti asal dan tanggal serangan, yang kemungkinan diakibatkan wabah yang muncul beberapa kali. Penulis John bar Penkaye menyatakan wabah ini menjadi kejadian paling parah yang pernah dilihat selama hidup. Saking parahnya, penduduk di wilayah Irak utara keluar dari rumahnya demi berlindung dari wabah. Sayangnya, penduduk tersebut justru menjadi korban perampokan dan mengundang niat jahat lain. John ber Penkaye berharap tak perlu lagi melihat wabah serupa Plague of Al-Jarif.

5. Plague of Fatayat

Plague of al-Fatayat terjadi di Basrah, Kufah, Waset, dan Damaskus pada 706M. Diberi nama plague of fatayat karena kebanyakan korban yang meninggal adalah pelayan perempuan dan wanita muda. Tingginya angka kematian mengindikasikan wabah kemungkinan besar adalah bubonic plague.

6. Plague of Al-Ashraf

Sesuai namanya, korban wabah plague of Al-Ashraf kebanyakan adalah laki-laki dari kalangan bangsawan. Wabah terjadi di Irak dan Suriah pada 716 M selama pemerintahan Al-Hajjaj, gubernur Irak dari Bani Umayyah yang terkenal. Putera mahkota Sulaiman bin Abd Al-Malik dikabarkan meninggal karena wabah ini.

7. Plague of 743-744 M

Wabah ini dilaporkan membunuh 100 ribu orang di wilayah Mesopotamia dan 20 ribu jiwa tiap hari selama satu bulan di wilayah Bosrah dan Hawran. Wabah yang ternyata bubonic plague ini menyerang bersamaan dengan kelaparan seperti dijelaskan dalam Zuqnin Chronicle. Serangan wabah ditandai bengkak, sakit, dan luka pada kebanyakan kepala keluarga. Sayangnya karena wabah menyerang saat musim dingin, mayat tidak bisa dikuburkan sehingga dibuang di tempat umum.
Akibatnya mereka yang hidup berisiko terkontaminasi jenazah yang mulai membusuk dan kelaparan. Mereka yang punya makanan ternyata tidak bernasib lebih baik. Stok makanan mereka dimangsa tikus yang membawa wabah ini dan berdampak buruk pada manusia.

8. Plague of Salam

Serangan wabah terjadi di Basrah pada 750 M dan Damaskus pada 754 M. Serangan paling parah terjadi saat Ramadhan dengan tingkat kematian seribu per hari. Sekitar 70 ribu orang mati di hari pertama serangan dan jumlah yang sama meninggal di hari kedua.

Umar bin Khattab Menghadapi Wabah Penyakit

Plague of Aswam menghadirkan cerita kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi serangan wabah. Sikap Umar menginspirasi upaya pencegahan akibat infeksi wabah penyakit di kehidupan sekarang. Umar sempat dianggap melarikan diri dari takdir Allah SWT.
"Kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya," jawab Umar bin Khattab saat ditanya Abu Ubaidah terkait kemungkinan melarikan diri dari takdir Tuhan.
Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah sempat berselisih karena khalifah ingin membawa pulang pasukannya ke Madinah. Sedangkan Abu Ubaidah ingin tetap berada di Syam yang terserang wabah. Dia kemudian terkena wabah dan meninggal dunia. Muaz bin Jabal yang menggantikan Abu Ubaidah sebagai Gubernur Syam juga meninggal dunia terkena wabah.
Sikap Umar didasarkan hadist yang menjelaskan sikap Rasulullah SAW saat mendengar ada wilayah terserang wabah.
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).
Wabah mengajarkan muslim untuk mengkaji lebih dalam sikap dan perkataan Rasulullah SAW saat menghadapi wabah. Tuntunan tersebut berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat muslim mampu memperbaiki derajat kesehatan dan kehidupannya. Penerapan ilmu pengetahuan dan prinsip agama yang sejalan memungkinkan muslim menjadi kelompok yang sangat kooperatif dalam mencegah penularan penyakit.
Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum