(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

Rukun Wudhlu


" Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur" ( Q.S. AL-MAIDAH AYAT 6 )
Share:

Ayat tentang orang yang menentang kebenaran



Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah Bal’am bin Ba’uraa salah seorang ulama Bani Israil, di mana ia diminta untuk mendoakan keburukan terhadap Nabi Musa dan akan diberi hadiah, maka ia pun melakukannya. Namun ternyata doa itu berbalik kepadanya dan lisannya menjulur ke dadanya. Ia dikatakan sebagai orang yang melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, karena seharusnya orang yang mengetahui ayat-ayat al kitab memberikan dukungan kepada kebenaran, bukan malah menentangnya. Ayat ini berlaku pula bagi setiap orang yang diberi ilmu tentang ayat-ayat-Nya, namun ia melepaskan diri daripadanya. Padahal sebelumnya mendapatkan petunjuk. Inilah orang yang dibiarkan Allah dan diserahkan kepada dirinya sendiri.
( Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H )
sumber : www.tafsirweb.com





Share:

Membaca qur'an bukan tadarus


Membaca Qur'an dalam Bahasa Arab adalah Qiro'atul Qur'an atau Tilawatil Qur'an, jadi jelas bahwa Membaca Qur'an itu bukan Tadarus, sedang Tadarus berasal dari asal kata darosa-yadrusu, yang artinya mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji, dan mengambil pelajaran. Lalu ketambahan huruf ta' di depannya sehingga menjadi tadaarosa-yatadaarosu, maka maknanya bertambah menjadi saling belajar atau mempelajari secara lebih mendalam.
Share:

Tadarus qur'an


Tadarus berasal dari asal kata darosa-yadrusu, yang artinya mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji, dan mengambil pelajaran. Lalu ketambahan huruf ta' di depannya sehingga menjadi tadaarosa-yatadaarosu, maka maknanya bertambah menjadi saling belajar atau mempelajari secara lebih mendalam.
Adapun kegiatan 'tadarusan' yang sering dijumpai, sepertinya nyaris tanpa pengkajian makna tiap ayat, yang ada hanya sekadar membaca saja. Terkadang benar dan tidaknya bacaan tidak terperhatikan karena tidak ada ustadz yang ahli di bidang membaca Al-Quran yang bertugas mentashih bacaan.
Bentuk tadarusan seperti itu lebih tepat menggunakan istilah tilawah wal istima'. Kata tilawah berarti membaca, dan kata istima' yang berarti mendengar.
Allah SWT telah memerintahkan selain membaca, juga mendengarkan Al-Quran.
Apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A'roof: 204)
Dari Ibnu Mas'ud ra berkata: "Adalah seorang dari kami jika telah mempelajari 10 ayat maka ia tidak menambahnya sampai ia mengetahui maknanya dan mengamalkannya." Hadis ini di-shahih-kan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq-nya atas tafsir At-Thabari (I/80).
Share:

Untuk Apa Puasa ?

Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Melalui ayat ini Allah memanggil orang-orang beriman (nida’ul mukminin) dan memerintahkan puasa (shaum) Ramadhan kepada mereka.
Allah telah memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah-Nya untuk menjalankan puasa Ramadhan adalah orang-orang yang beriman.
Karena itu, setiap orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, tentu akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, bersedia bangun malam untuk makan sahur. Lalu bersedia menahan diri dari makan, minum, dari berhubungan suami isteri, sejak terbit fajar hingga maghrib, selama bulan Ramadhan.
Ia tentu siap menahan lapar dan dahaga demi menggapai kemuliaan shaum Ramadhan, demi mencapai ridha Ilahi.
Ayat ini juga menyebutkan, “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa.
Ujung ayat ini “la’allakum tattaquun”, merupakan tujuan puasa Ramadhan yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah. Caranya adalah dengan meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah-Nya. Dengan demikian mental kita terlatih di dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.
Allah pada ayat lain mengingatkan:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya : “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yusuf  [12]: 153).
Tidak sedikit manusia tergelincir ke jurang neraka akibat tidak dapat mengendalikan hawa nafsu dirinya, terutama yang dilakukan oleh mulut dan kemaluannya.
Nabi mengingatkan:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Artinya :Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang penyebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga.Maka beliau menjawab, “Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak yang baik”. Dan beliau ditanya tentang penyebab yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Beliau menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Dengan puasa Ramadhan sebulan penuh akan terlatih jiwa pengendalian diri.
Bagaimana tidak, kalau di segala waktu dilarang memakan makanan yang haram, maka di bulan Ramadhan, makanan yang halalpun dilarang. Bercampur dengan isterinya yang semula halal pun menjadi terlarang. Itu semua dilakukan karena kadar imannya yang membimbingnya menjadi manusia terkendali. Walaupun mungkin berada di tempat terpencil, seorang diri, tetapi kadar imannya menahannya agar jangan sampai melanggar aturan-Nya.
Dengan demikian orang-orang beriman mendidik kemauannya serta mampu mengendalikan hawa nafsunya, karena Allah. Nafsu yang dikendalikan yakni nafsu perut dan nafsu syahwat. Kalau keduanya ini tidak terkendali, maka manusia akan terjerumus ke dalam lembah nista, terjerembab ke dalam makanan haram, berbuat maksiat, dan menumpuk dosa.
Maka menjadi sangat jelas bahwa tujuan utama puasa Ramadhan dengan latihan pengendalian diri seperti disebutkan pada ujung akhir ayat 183 surat Al-Baqarah, adalah agar yang melaksanakannya menjadi orang bertakwa.
Dengan makna taqwa tersebut maka shoimun terdidik untuk senantiasa berjihad menjalankan perintah Allah dan menjauhi meninggalkan segala larangan-Nya.


وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)

Share:

Tadabbur qur'an tentang QORNA


Menetaplah di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar darinya kecuali karena ada keperluan, dan janganlah kalian tampakkan keindahan kalian sebagaimana yang menjadi kebiasaan para wanita sebelum datangnya Islam, yang menampakkannya untuk menggoda kaum lelaki. Dirikanlah salat dengan sempurna dan tunaikan zakat harta kalian serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan kotoran dan dosa dari diri kalian wahai para istri Nabi dan Ahlibaitnya, dan Allah berkehendak untuk membersihkan jiwa kalian dengan cara menghiasinya dengan berbagai akhlak yang utama dan membersihkannya dari kotoran-kotoran jiwa dengan sebersih-bersihnya, tidak tersisa setelah itu satu kotoran pun.

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram) Tetaplah kalian di rumah kalian, jangan meninggalkannya kecuali bila ada hajat. Jangan memperlihatkan kecantikan kalian, seperti yang dilakukan oleh wanita-wanita jahiliyah pertama di zaman-zaman yang telah berlalu sebelum Islam. Ini adalah pembicaraan kepada seluruh wanita Mukmin di setiap masa. Tegakkanlah (wahai istri-istri Nabi) shalat dengan sempurna pada waktunya. Bayarlah zakat sebagaimana yang Allah syariatkan. Taatilah Allah dan RasulNya dalam perintah keduanya dan larangan keduanya. Allah mewasiatkan hal itu untuk kalian karena Dia hendak membersihkan kalian dan menjauhkan kalian dari keburukan dan gangguan wahai Ahlul Bait Nabi, (termasuk dalam hal ini adalah istri-istri beliau dan anak keturunan beliau), dan menyucikan jiwa kalian sesuci-sucinya.

Share:

Sholat tarawih pada zaman Nabi, Abu bakar dan Umar



Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan hanya pada bulan Ramadhan, dan shalat tarawih ini dikerjakan Nabi pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua hijriah. Rasulullah pada masa itu mengerjakannya tidak selalu di masjid, melainkan kadang di rumah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist:
 عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم) 
Artinya: “Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, 'Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, 'Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim). 
Hadist ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad memang pernah melaksanakan shalat tarawih pada malam awal-awal bulan Ramadhan. Hingga akhirnya, saat melihat antusiasme yang begitu tinggi dari sahabat-sahabat beliau, Nabi justru mengurungkan niatnya datang ke masjid pada hari ketiga atau keempat. Pertama, bisa jadi karena beliau khawatir, sewaktu-waktu Allah menurunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih kepada umatnya. Tentu hal tersebut bakal memberatkan umat generasi berikutnya yang belum tentu memiliki semangat yang sama dengan para sahabat Nabi itu. Kedua, mungkin beliau takut timbulnya salah persepsi di kalangan umat bahwa shalat tarawih wajib karena merupakan perbuatan baik yang tak pernah ditinggalkan Rasulullah. Sebagaimana keterangan dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari:
 أَنَّهُ إِذَا وَاظَبَ عَلَى شَيْء مِنْ أَعْمَال الْبِرّ وَاقْتَدَى النَّاس بِهِ فِيهِ أَنَّهُ يُفْرَض عَلَيْهِمْ 
Artinya: “Sesungguhnya Nabi ketika menekuni suatu amal kebaikan dan diikuti umatnya, maka perkara tersebut telah diwajibkan atas umatnya.” Langkah tersebut menunjukkan betapa bijaksana dan sangat sayangnya Nabi kepada umatnya. 
Pada hadist di atas dapat ditarik kesimpulan:
(1) Nabi melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid hanya dua malam. Dan beliau tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada umatnya.
(2) Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh Rasulullah dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.
(3) Dalam hadist di atas tidak ada penyebutan bilangan rakaat dan ketentuan rakaat shalat tarawih secara rinci. Shalat Tarawih pada Masa Abu Bakar dan Umar Shalat tarawih adalah bagian dari shalat sunnah mu’akkadadah (shalat sunnah yang sangat dianjurkan). Jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat tanpa witir, sebagaimana yang telah dikerjakan Sayyidina Umar bin Khattab dan mayoritas sahabat lainnya yang sudah disepakati oleh umatnya. Kesepakatan itu datang dari mayoritas ulama salaf dan khalaf, mulai masa sahabat Umar sampai sekarang ini, bahkan ini sudah menjadi ijma’ sahabat dan semua ulama mazhab: Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki. Di kalangan mazhab Maliki masih ada ikhtilaf (perbedaan pendapat), antara 20 rakaat dan 36 rakaat, berdasar hadist riwayat Imam Malik bin Anas radliyallahu ‘anh bahwa Imam Darul Hijrah Madinah berpendapat shalat tarawih itu lebih dari 20 rakaat sampai 36 rakaat: “Saya dapati orang-orang melakukan ibadah malam di bulan Ramadhan, yakni shalat tarawih, dengan tiga puluh sembilan rakaat—yang tiga adalah shalat witir.” Imam Malik sendiri memilih 8 rakaat tapi mayorits Malikiyah sesuai dengan pendapat mayoritas Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah yang sepakat bahwa shalat tarawih adalah 20 rakaat, hal ini merupakan pendapat yang lebih kuat dan sempurna ijma’-nya. Baca: Mengapa Jumlah Rakaat Tarawih Berbeda-beda? Ini Penjelasannya Umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar radliyallahu ‘anh melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri (munfarid) atau berkelompok tiga, empat, atau enam orang. Saat itu belum ada shalat tarawih berjamaah dengan satu imam di masjid. Ketetapan tentang jumlah rakaat shalat tarawih pun belum tertuang secara jelas. Para shahabat ada yang melaksanakan shalat 8 rakaat kemudian menyempurnakan di rumahnya seperti pada keterangan di awal. Shalat tarawih berubah keadaannya ketika Umar bin Khattab berinisatif untuk menggelarnya secara berjamaah, setelah menyaksikan umat Islam shalat tarawih yang tampak tak kompak, sebagian shalat secara sendiri-sendiri, sebagian lain berjamaah. Sebuah hadits shahih memaparkan:

 عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ  

Artinya: “Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah),” (HR Bukhari). Hal ini juga ditopang oleh hadits lainnya:

   عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا النَّاسُ فِي رَمَضَانَ يُصَلُّونَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا هَؤُلَاءِ ؟ فَقِيلَ: هَؤُلَاءِ نَاسٌ لَيْسَ مَعَهُمْ قُرْآنٌ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي وَهُمْ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابُوا وَنِعْمَ مَا صَنَعُوا 

Artinya: “Dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anh, beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dan melihat banyak orang yang melakukan shalat di bulan Ramadhan (tarawih) di sudut masjid. Beliau bertanya, ‘Siapa mereka?’ Kemudian dijawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai Al-Qur’an (tidak bisa menghafal atau tidak hafal Al-Qur’an). Dan sahabat Ubay bin Ka’ab pun shalat mengimami mereka, lalu Nabi berkata, ‘Mereka itu benar, dan sebaik-baik perbuatan adalah yang mereka lakukan,” (HR Abu Dawud).

Dari sini sudah sangat jelas bahwa pertama kali orang yang mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah adalah Sayyidina Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Nabi. Jamaah shalat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan jumlah 20 rakaat. Sebagaimana keterangan:

 عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً 
 “Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar radliyallahu ‘anh di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir),” (HR Malik).

Bukti lain dari keterangan tersebut adalah hadist yang diriwayatkan Sa’ib bin Yazid: 

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ) ـ  

Artinya: “Dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata, ‘Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat,” (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya). Dua dalil di atas cukup menjelaskan bahwa pendapat terkuat soal jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Apa yang diinisiasi Sayyidina Umar bin Khattab tak hanya disetujui tapi juga dipraktikkan para sahabat Nabi yang lain kala itu, termasuk Sayyidah Aisyah, istri Baginda Nabi. Hal ini mempertegas ijma’ (konsensus) sahabat karena tiada satu orang pun yang mengingkari atau menentang. Tak heran, bila para ulama empat mazhab atau mazhab lainnya pun mayoritas memilih pendapat ini. Inisiatif Sayyidina Umar yang kemudian diikuti para sahabat dan ulama setelahnya adalah sangat wajar bila kita menengok sabda Nabi:

 أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِنَّ اللهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ 

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati umar.” (HR. Turmudzi). Hadits tersebut menunjukkan kredibilitas Sayyidina Umar yang mendapat “stempel” langsung dari Rasulullah, sehingga mustahil beliau berbuat penyimpangan, apalagi dalam hal ibadah. Penjelasan yang lain adalah hadits berikut:

 وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَقَالَ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ) ـ Artinya: “Dan sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan pentunjuk setelah aku meninggal, maka berpegang teguhlah padanya dengan erat.” Hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: عَنْ حُذَيْفَةُ هُوَ الَّذِي يَرْوِي عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ( أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ)ـ  Artinya: “Dari Hudzaifah radliyallahu ‘anh, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ikutilah dua orang setelahku, yakni Abu Bakar dan Umar,” (HR Turmudzi).

Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum