(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

Ujian, Musibah, dan Azab

Berikut ini penjelasan lengkapnya mengenai perbedaan ujian, musibah dan azab. Simak selengkapnya.
1. Ujian
Ibtila’ adalah ujian yang secara bahasa berarti ikhtibar (penyelidikan) dan imtihan (percobaan), baik berupa kesulitan maupun kesenangan, kebaikan maupun keburukan.
Allah memberikan ujian kepada manusia dengan tujuan menguji siapa hamba-Nya yang bersyukur atas ujian nikmat yang diperoleh dan siapa yang bersabar atas kesulitan yang menimpanya, agar diketahui siapa diantara hamba-Nya yang paling baik amalnya.
Firman-Nya dalam Surat Al-Anbiya ayat 35,
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 168 yang  artinya: “Dan kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk.” (QS. Al A’raf: 168)
Firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 7 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS Al Kahfi: 7)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa, makna “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)”, artinya terkadang Allah menguji dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan, agar Allah mengetahui orang-orang yang bersyukur dari orang-orang yang kufur, orang-orang yang bersabar dari orang-orang yang berputus asa.
Sebagaimana perkataan Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas yang artinya: “Dan Kami menguji kalian”, dia mengatakan Kami menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (cobaan), dengan kesulitan dan kelapangan, kesehatan dan rasa sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan… sedangkan firman-Nya yang berarti “dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”, adalah Kami akan memberikan ganjaran (balasan) atas amal kamu. (Tafsir Al Qur’an Al Azhim juz V hal 342)
Ujian yang diberikan oleh Allah, disesuaikan dengan kadar dan kualitas keimanan seseorang serta sebagai sarana untuk menambahkan pahala bagi orang-orang yang bersabar. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi.
Seseorang terkadang sanggup bertahan di dalam keimanan saat mendapatkan kesulitan, akan tetapi hilang imannya tatkala mendapatkan kesenangan. Ujian apapun yang Allah berikan pada kita, bersyukur dan bersabarlah.
Karena, setiap ujian yang Allah timpakan pada seorang mukmin sebagai pembersih dosa dan kesalahannya di dunia, sehingga tidak ada lagi siksa atas dosanya di akhirat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Tidaklah seorang mukmin atau mukminah yang ditimpa suatu bala’ (cobaan) sehingga ia berjalan di bumi tanpa membawa kesalahan.”
“Senantiasa cobaan itu datang menimpa seorang mukmin dan mukminah pada dirinya, anaknya, dan hartanya sampai dia berjumpa dengan Allah tanpa ada satupun dosa pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2399)
2. Musibah
Apabila ujian dan cobaan itu bisa berbentuk kesenangan atau kesulitan, sedangkan musibah biasanya berbentuk sesuatu yang tidak disukai. Musibah secara bahasa, identik dengan teguran atau peringatan yang sudah menjadi ketentuan Allah, terjadi karena kesalahan yαng kita perbuat.
Apabila Allah menghendaki kebaikan, maka Allah akan menyegerakan hukuman. Ditegur di dunia sehingga ia menjadi lebih baik dan suci dari dosa. Tapi apabila Allah tidak mencintai hamba-Nya, maka Ia akan tunda hukumannya dan ditunaikan di akhirat kelak sebagai akibat dari perbuatan dosa yang dilakukannya.
Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 79,
مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79)
Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 30,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30)
”Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seorang mukmin ditimpa kegalauan, kesedihan, kepayahan bahkan duri yang menancap padanya kecuali dengannya Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.” (Tafsir Al-Qur’an Al Azhim juz II hal 363)
Orang-orang yang bersabar ketika mendapat musibah dan menjadikannya sebagai upaya perbaikan diri untuk lebih mendekat pada-Nya makan akan mendapat ampunan di sisi-Nya.
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat pengampunan dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS Al Baqarah: 155-157)
Musibah yang terjadi pada diri kita, harus disyukuri sebagai sarana introspeksi. Manusia tidak pernah luput dari kekhilafan. Janganlah menjadi orang yang lemah imannya seperti surat Al Hajj ayat 11 yang maknanya, dia hanya akan beriman apabila diberi kesenangan tapi mudah berbalik menjadi kafir ketika mendapat bencana atau musibah.
Musibah dan ibtila’ atau ujian hanyalah menimpa orang-orang mukmin, sedangkan musibah untuk orang kafir disebut azab.
3. Azab
Azab Allah yang diberikan kepada orang-orang kafir, baik di dunia maupun akhirat.
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: “Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. As Sajadah : 21)
“Orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (QS Ar Ra’du: 31)
“Wahai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kalian menjadi jahat sehingga kalian ditimpa musibah (azab) seperti yang menimpa kaum Nuh, kaum Hud, atau kaum Shalih. Sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kalian.” (QS Hud: 89)
“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 16)
Didalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidaklah menzhalimi seorang mukmin, diberikan kepadanya kebaikan di dunia dan disediakan baginya pahala di akherat. Adapun orang yang kafir maka ia memakan dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya di dunia sehingga ketika dia kembali ke akherat maka tidak ada lagi satu kebaikan pun sebagai ganjaran baginya.“ (HR. Muslim)
Wallahu A’lam.
Share:

Sejarah Awal mula Qunut


(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)
Sebuah peristiwa tragis kembali menimpa kaum muslimin. 70 shahabat pilihan yang merupakan para qurra` (ahli membaca Al-Qur`an, yakni ulama) dibantai dengan hanya menyisakan satu orang saja. Peristiwa ini mengguratkan kesedihan yang mendalam pada diri Rasulullah n. Beliaupun mendoakan kejelekan kepada para pelakunya selama satu bulan penuh. Inilah awal mula adanya Qunut, namun tentu saja bukan seperti yang dipahami oleh masyarakat kebanyakan di mana dilakukan terus menerus setiap Shalat Shubuh.
Pada bulan Shafar tahun keempat hijriah, peristiwa ini terjadi. Ketika itu datang Abu Barra` ‘Amir bin Malik menemui Rasulullah n di Madinah, kemudian oleh beliau diajak kepada Islam. Ia tidak menyambutnya, namun juga tidak menun-jukkan sikap penolakan.
Kemudian dia berkata: “Wahai Rasu-lullah, seandainya engkau mengutus shaha-bat-shahabatmu kepada penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada Islam, aku berharap mereka akan menyambutnya.”
Beliau n berkata: “Aku meng-khawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Tapi kata Abu Barra`: “Aku yang menjamin mereka.”
Kemudian Rasulullah n mengutus 70 orang shahabat ahli baca Al-Qur`an, termasuk pemuka kaum muslimin pilihan. Mereka tiba di sebuah tempat bernama Bi`r Ma’unah, sebuah daerah yang terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan kampung Bani Sulaim. Setibanya di sana, mereka mengutus Haram bin Milhan, saudara Ummu Sulaim bintu Milhan, membawa surat Rasulullah n kepada ‘Amir bin Thufail. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu, bahkan memberi isyarat agar seseorang membunuh Haram. Ketika orang itu menikamkan tombaknya dan Haram melihat darah, dia berkata: “Demi Rabb Ka’bah, aku beruntung.”
Kemudian ‘Amir bin Thufail menghasut orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat lainnya, namun mereka menolak karena adanya perlindung-an Abu Barra`. Diapun menghasut Bani Sulaim dan ajakan ini disambut oleh ‘Ushaiyyah, Ri’l, dan Dzakwan. Merekapun datang mengepung para shahabat Rasu-lullah n lalu membunuh mereka kecuali Ka’b bin Zaid bin An-Najjar yang ketika itu terluka dan terbaring bersama jenazah lainnya. Dia hidup hingga terjadinya peristiwa Khandaq.
Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari juga memaparkan kisah yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, antara lain beliau mengatakan:
“Bahwasanya ada perjanjian antara kaum musyrikin dengan Rasulullah n. Mereka adalah kelompok yang tidak ikut memerangi beliau. Diceritakan oleh Ibnu Ishaq dari para gurunya, demikian pula oleh Musa bin ‘Uqbah dari Ibnu Syihab, bahwa yang mengadakan perjanjian dengan beliau adalah Bani ‘Amir yang dipimpin oleh Abu Barra` ‘Amir bin Malik bin Ja’far si Pemain Tombak. Sedangkan kelompok lain adalah Bani Sulaim. Dan ‘Amir bin Thufail ingin mengkhianati perjanjian dengan para shahabat Rasulullah n. Diapun menghasut Bani ‘Amir agar memerangi para shahabat, namun Bani ‘Amir menolak, kata mereka: “Kami tidak akan melanggar jaminan yang diberikan Abu Barra`.” Kemudian dia menghasut ‘Ushaiyyah dan Dzakwan dari Bani Sulaim dan mereka mengikutinya membunuh para shahabat…” demikian secara ringkas.
Akhirnya Rasulullah n melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang membunuh para qurra` shahabat-shahabat beliau di Bi`r Ma’unah. Belum pernah para shahabat melihat Rasulullah n begitu berduka dibandingkan ketika mendengar berita ini.
Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dari Anas bin Malik z:
“Rasulullah n qunut selama satu bulan ketika para qurra` itu terbunuh. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah n begitu berduka dibandingkan ketika kejadian tersebut.”
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dalam Tarikh-nya, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (3/247), bahwa pada saat pembantaian tersebut, ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamari dan Al-Mundzir bin ‘Uqbah bin ‘Amir tinggal di pekarangan kaum muslimin. Mereka tidak mengetahui adanya peristiwa pembantaian itu melainkan karena adanya burung-burung yang mengitari tempat kejadian tersebut. Akhirnya mereka melihat kenyataan yang memilukan tersebut.
Mereka berembug apa yang mesti dilakukan. ‘Amr bin Umayyah berpendapat sebaiknya mereka kembali untuk mencerita-kan kejadian pahit ini kepada Rasulullah n. Namun Al-Mundzir menolak dan lebih suka turun menyerang kaum musyrikin. Diapun turun dan menyerang hingga terbunuh pula. Akhirnya ‘Amr tertawan, namun ketika dia menyebutkan bahwa dia berasal dari kabilah Mudhar, ‘Amir memotong ubun-ubunnya dan membebaskannya.
‘Amr bin Umayyah pun pulang ke Madinah. Setibanya di Al-Qarqarah sebuah wilayah dekat Al-Arhadhiyah, sekitar 8 pos dari Madinah dia berhenti berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian datanglah dua laki-laki Bani Kilab dan turut berteduh di tempat itu juga. Ketika keduanya tertidur, ‘Amr menyergap mereka dan dia ber-anggapan bahwa ia telah membalaskan dendam para shahabatnya. Ternyata kedua-nya mempunyai ikatan perjanjian dengan Rasulullah n yang tidak disadarinya. Setelah tiba di Madinah, dia ceritakan semuanya kepada Rasulullah n dan beliau pun berkata:
“Sungguh kamu telah membunuh mereka berdua, tentu saya akan tebus keduanya.”1
Inilah antara lain yang juga menjadi penyebab terjadinya perang Bani An-Nadhir yang akan dikisahkan pada edisi mendatang, Insya Allah.
Dari kisah ini, ulama menyimpulkan bahwa qunut yang dilakukan oleh Rasulullah n hanyalah qunut nazilah. Dan itupun beliau lakukan selama satu bulan, mendoa-kan kejelekan terhadap Bani Lihyan, ‘Ushaiyyah dan lain-lain. Bukan terus-menerus sebagaimana dilakukan sebagian kaum muslimin hari ini.
Ini diriwayatkan juga oleh Al-Imam Ahmad dan lainnya dari hadits Anas bin Malik z:
“Bahwasanya Nabi n qunut selama satu bulan lalu meninggalkannya.”
Demikian pula yang disimpulkan oleh Ibnul Qayyim dalam pembahasan masalah qunut ini, lihat kitab Zaadul Ma’ad (1/273-285).
Terakhir, beliau mengatakan bahwa yang diriwayatkan dari shahabat tentang qunut ini ada dua, yaitu:
a. Qunut ketika ada musibah atau bencana yang menimpa (nazilah) seperti qunut yang dilakukan Ash-Shiddiq z ketika para shahabat memerangi Musaila-mah Al-Kadzdzab dan ahli kitab. Juga qunut yang dilakukan ‘Umar dan ‘Ali ketika menghadapi pasukan Mu’awiyah dan penduduk Syam.
b. Qunut yang mutlak, yang dimaksud adalah memanjangkan rukun shalat (seperti berdiri, sujud, dan lainnya) untuk berdoa dan memuji Allah I. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Lihat Tarikh Ath-Thabari 2/81, Tafsir Ibnu Katsir 1/429, 4/332.
Share:

Tentang Qunut pada Sholat Subuh


Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ لم يزَلْ يقنُتُ في الصُّبحِ حتَّى فارقَ الدُّنيا
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam senantiasa qunut Shubuh sampai beliau meninggal dunia“.
Derajat hadits: mungkar.
Diriwayatkan oleh Abdurrozaq (4964), Ibnu Abi Syaibah (7002), Ahmad (3/162), Ath Thahawi (1/244), Daruquthni (2/39), Hakim dalam Al Arba’in dan Baihaqi (2/201) dari beberapa jalan dari Abu Ja’far Ar Rozi dari Robi bin Anas dari Anas bin Malik secara marfu‘.
Sisi cacatnya adalah Abu Ja’far, dia orang yang jelek hafalannya, hanya bisa digunakan untuk syawahid, namun kalau sendirian maka haditsnya lemah.
Hadits ini dilemahkan Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Turkumani, Ibnul Qoyyim, Al Albani dan lainnya. Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar: “hadits semacam ini tidak bisa dijadikan hujjah (dalil)”.
Adapun sisi kemungkaran hadits ini adalah karena bertentangan dengan riwayat lain yang shohih, yaitu:
Pertama: Riwayat Anas bin Malik bahwasanya beliau berkata:
أنَّ النبي صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كان لا يَقنطُ إلَّا إذا دَعَى لِقومٍ ، أوْ دَعَى على قومٍ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah qunut kecuali apabila mendoakan kebaikan atau kehancuran suatu kaum“.
Kedua: Riwayat Abu Hurairah:
عن أبي هريرة قال: كان رسول الله صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كان لا يَقنطُ في صلاة الصبح إلَّا أن يدعو لِقومٍ ، أوْ على قومٍ
“Dari Abu Hurairah ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak qunut dalam shalat Shubuh kecuali kalau mendoakan akan kebaikan atau kehancuran suatu kaum“.
Ketiga:
عن أبي مالك الأشجعي قال: قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Dari Abu Malik Al Asyja’i ia berkata: Saya bertanya kepada bapakku: ‘Wahai bapakku, Sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kota Kufah selama lima tahun. Apakah mereka semua qunut?’. Maka bapaknya menjawab: ‘Wahai anakku, itu adalah perbuatan bid’ah’“ (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan lainnya dengan sanad shohih).
Lihat Zadul Ma’ad (1/271), Silsilah Adh Dha’ifah (1238, 5574), Irwa Gholil (435), Takhrij Adzkar Nawawiyah (137).
***
Disalin dari buku “Hadits Lemah & Palsu Yang Populer Di Indonesia” hal 125-126.
Penulis: Ust. Ahmad Sabiq


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29021-hadits-lemah-rasulullah-qunut-shubuh-hingga-meninggal-dunia.html


SEMUA HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH TERUS-MENERUS ADALAH LEMAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
HADITS-HADITS TENTANG QUNUT SHUBUH DAN PENJELASANNYA
HADITS KETIGA
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ، وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ.رواه البيهقي
“Artinya : Aku pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau qunut di belakang ‘Umar dan di belakang ‘Utsman, mereka semuanya qunut.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi. [1]
Imam Ibnu Turkamani berkata tentang hadits ini: “Kita harus lihat kepada seorang perawi Khulaid bin Da’laj, apakah ia bisa dipakai sebagai penguat hadits atau tidak?’
Karena Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Ma’in dan Daraquthni melemahkannya. Pernah sekali Ibnu Ma’in berkata: ‘Ia tidak ada apa-apanya (ia tidak bisa dipakai hujjah).’
Imam an-Nasa-i berkata: ‘Ia bukan orang yang bisa dipercaya. Dan di dalam Mizaanul I’tidal (I/663) disebut-kan bahwa Imam ad-Daraquthni memasukkannya dalam kelompok para perawi yang matruk.’”
Ada sesuatu hal yang aneh dalam membawakan ini yaitu mengapa riwayat Khulaid dijadikan penguat pada-hal di situ tidak ada sebutan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut terus-menerus pada shalat Shubuh. Dalam riwayat itu hanya disebut qunut. Kalau soal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut banyak haditsnya yang shahih, akan tetapi yang jadi persoalan adalah “Ada tidak hadits yang shahih yang menerangkan beliau terus-me-nerus qunut Shubuh?”[2]
HADITS KEEMPAT
Hadits lain yang dikatakan sebagai ‘syahid’ (penguat) ialah hadits:
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى مَاتَ. أخرجه الخطيب في كتاب القنوت
“Artinya : Senantiasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh hingga beliau wafat.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam Kitaab al-Qunut.
Al-Hafizh Abul Faraj Ibnul Jauzi telah mencela al-Khathib (al-Baghdadi), mengapa ia memasukkan hadits ini di dalam kitabnya al-Qunut padahal di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Dinar bin ‘Abdillah.
Ibnu Hibban berkata: “Dinar bin ‘Abdillah banyak meriwayatkan Atsar yang maudhu’ (palsu) dengan meng-atasnamakan Anas, maka sudah sewajarnya hadits yang ia riwayatkan tidak halal untuk disebutkan (dimuat) di dalam berbagai kitab, kecuali bila ingin menerangkan cacatnya.”
Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia (Dinar) dha’if dzahib (sangat lemah).”
[Periksa: Mizaanul I’tidal (II/30-31).]
Dari sini dapatlah kita ketahui bersama bahwa perka-taan Imam an-Nawawi bahwa hadits Anas mempunyai penguat dari beberapa jalan yang shahih (?) yang diriwa-yatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni, ada-lah perkataan yang tidak benar dan sangat keliru sekali, karena semua jalan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi ada cacat dan celanya, sebagaimana yang sudah diterang-kan di atas. Kelemahan hadits-hadits di atas bukanlah kelemahan yang ringan yang dengannya, hadits Anas bisa terangkat menjadi hasan lighairihi, tidaklah demikian. Akan tetapi kelemahan hadits-hadits di atas adalah ke-lemahan yang sangat menyangkut masalah ‘adalatur rawi (keadilan seorang perawi).
Jadi, kesimpulannya hadist-hadits di atas sangat lemah dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Hadits-hadits Anas terjadi kegoncangan dan perselisihan, maka yang seperti ini tidak boleh dijadikan hujjah. (Yakni hadits Abu Ja’far tidak boleh dijadikan hujjah -pen.).
[Lihat Talkhisul Habir ma’asy Syarhil Muhadzdzab (III/418).]
Bila dilihat dari segi matan-nya (isi hadits), maka matan hadits (kedua dan keempat) bertentangan dengan matan hadits-hadits Anas yang lain dan bertentangan pula dengan hadits-hadits shahih yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut pada waktu ada nazilah (musibah).
HADITS KELIMA
Riwayat dari Anas yang membantah adanya qunut Shubuh terus-menerus:
قَالَ عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ ِلأَنَسٍ: إِنَّ قَوْمًا يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ بِالْفَجْرِ، فَقَالَ: كَذَّبُوْا، وَإِنَّمَا قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا وَاحِدًا يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ.
“Artinya : Ashim bin Sulaiman berkata kepada Anas, “Sesungguh-nya orang-orang menyangka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa qunut dalam shalat Shubuh.” Jawab Anas bin Malik: “Mereka dusta! Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut satu bulan mendo’akan kecelakaan atas satu qabilah dari qabilah-qabilah bangsa ‘Arab.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Khathib al-Bagh-dadi sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Allamah Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma’aad (I/278)
Derajat Hadits.
Derajat hadits ini tidak sampai kepada shahih, karena dalam sanadnya ada Qais bin Rabi’, ia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya mengatakan ia tsiqah. Qais ini lebih tsiqah dari Abu Ja’far semestinya orang lebih con-dong memakai riwayat Qais ketimbang riwayat Abu Ja’far, dan lagi pula riwayat Qais ada penguatnya dari hadits-hadits yang sah dari Anas sendiri dan dari para Shahabat yang lainnya.
HADITS KEENAM
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ. رواه ابن خزيمة رقم (620) وغيره وإسناده صحيح
Dari Anas bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut melainkan apabila beliau mendo’a-kan kecelakaan bagi kaum (kafir).
[Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuza-imah dalam kitab Shahih-nya no. 620]
QUNUT SHUBUH TERUS MENERUS ADALAH BID’AH!!!
Qunut Shubuh yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia dan di tempat lain secara terus-menerus adalah ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Shahabatnya dan tidak juga dilakukan oleh para tabi’in. Para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -mudah-mudahan Allah meridhai mereka-, mereka adalah orang-orang yang selalu shalat berjama’ah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka menceritakan apa yang mereka lihat dari tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lima waktu dan lainnya. Mereka jelas-jelas mengatakan bahwa qunut Shubuh terus-menerus tidak ada Sunnahnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan di antara mereka ada yang berkata : Qunut Shubuh adalah bid’ah, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat-riwayat yang akan saya paparkan di bawah ini:
HADITS KETUJUH
عَنْ أَبِيْ مَالِكٍ سَعِيْدٍ بْنِ طَارِقٍ اْلاَشْجَعِيِّ قَالَ قُلْتُ ِلأَبِيْ: يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هاَهُنَا بِالْكُوْفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِيْنَ فَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ فَقَالَ: أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ. رواه الترمدى رقم: (402) وأحمد (3/472، 6/394) وابن ماجه رقم: (1241) والنسائي (2/204) والطحاوي (1/146) والطياليسي رقم: (1328) والبيهقي (2/213) والسياق لابن ماجه وقال الترميذي: حديث حسن صحيح وانظر صحيح سنن النسائي رقم: (1035).
Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di bela-kang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan di belakang ‘Ali di daerah Qufah sini kira-kira selama lima tahun, apakah qunut Shubuh terus-menerus?” Ia jawab: “Wahai anakku qunut Shubuh itu bid’ah!!
Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi (no. 402), Ahmad (III/472, VI/394), Ibnu Majah (no. 1241), an-Nasa-i (II/204), ath-Thahawi (I/146), ath-Thayalisi (no. 1328) dan Baihaqi (II/213), dan ini adalah lafazh hadits Imam Ibnu Majah, dan Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Lihat pula kitab Shahih Sunan an-Nasa-i (I/233 no. 1035) dan Irwaa-ul Ghalil (II/182) keduanya karya Imam al-Albany. [4]
Bid’ah yang dimaksud oleh Thariq bin Asyyam al-Asyja’i ini adalah bid’ah menurut syari’at, yaitu: Mengadakan suatu ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan maksud bertaqarrub kepada Allah. Dan semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. أخرجه النسائي (3/188189) أنظر صحيح سنن النسائي (1/346) رقم (1487) والبيهقي في الأسماء والصفات عن جابر .
“Artinya : Tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tiap-tiap kesesatan tempatnya di Neraka.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam kitab Sunannya (III/188-189) dan al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ wash Shifat, lihat juga kitab Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346), karya Imam al-Albany.
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
________
Footnote
[1]. Di dalam kitab Sunanul Kubra II/202
[2]. Lihat di dalam kitab Sunanul Kubra II/201-202
[3]. Nama lengkap beliau adalah : Ahmad bin Ali bin Muhammad Al-Kannani Al-Asqalani Abul Fadhl, dan beliau terkenal sebagai ulama dari kalangan madzhab Imam As-Syafi’i, lihat biografi lengkapnya di kitab Al-Jawaahir wad Durar Fii Tarjamati Syaikhil Islam Ibni Hajar oleh Syaikh As-Syakhawi dan kitab-kitab yang lainnya.
[4]. Lihat juga di kitab Bulughul Maram no. 289, karya Al-Hafidzh


Read more https://almanhaj.or.id/1406-qunut-shubuh-terus-menerus-adalah-bidah.html


Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.
Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini[1]. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398)[2]
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.”
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin –khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk berlapang dada dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ” [3]
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).”[4]
Hanya Allah yang memberi taufik.
Disusun di Batu Merah, kota Ambon, 5 Syawal 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/529-qunut-shubuh-dalam-pandangan-empat-madz-hab-2.html


Share:

Bid'ah



Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah/2 : 117]
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul“. [Al-Ahqaf/46 : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah“, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)“. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak“.
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat“. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak“.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak“.
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat“.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak“. Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]


Read more https://almanhaj.or.id/439-pengertian-bidah-macam-macam-bidah-dan-hukum-hukumnya.html


Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.
Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Hadits 2Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i,
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)
Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)
Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ
“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)
Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).
Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)
Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)
Hadits 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:
يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )
Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)
Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.
Hadits 10
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ
Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)
Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.
Hadits 11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)
Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.
Wallahu’alam.


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/11456-hadits-hadits-tentang-bidah.html
Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum