(( Menu Halaman )) - (( Qur'an )) (( Hadits ))
  • Al-Qur'an dan Hadits Sebagai Petunjuk Hidup

    Nabi Muhammad saw telah mewariskan 2 hal kepada kita sebagai petunjuk kehidupan apapun yang berkaitan dengan kehidupan, yaitu Al-Qur'an dan Hadits

  • Masalah - Solusi - Sukses

    Ketika kita dihadapi dengan berbagai masalah kehidupan, kita harus mencari solusi untuk sukses.

  • Pondok Pesantren Digital

    Pondok Pesantren Digital adalah Media Belajar Agama Islam secara digital berbasis online yang dapat di akses melalui Smartphone, Laptop ataupun Komputer dengan system khusus

  • Solusi Terbaik Mengatasi Masalah

    Bagaimana kita dapat mengatasi berbagai permasalahan hidup apapun masalahnya di sini kami beritahu solusi terbaik yang pasti berhasil.

Larangan merendahkan orang lain


Dalam surat Al Hujurat, Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk dalam berakhlak yang baik,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan meremehkan orang lain. Dan sifat melecehkan dan meremehkan termasuk dalam kategori sombong sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91). Yang dimaksud di sini adalah meremehkan dan menganggapnya kerdil. Meremehkan orang lain adalah suatu yang diharamkan karena bisa jadi yang diremehkan lebih mulia di sisi Allah seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 713).
Ingatlah orang  jadi mulia di sisi Allah dengan ilmu dan takwa. Jangan sampai orang lain diremehkan dan dipandang hina. Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11)
Seorang mantan budak pun bisa jadi mulia dari yang lain lantaran ilmu. Coba perhatikan kisah seorang bekas budak berikut ini.
أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ لَقِىَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ فَقَالَ مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِى فَقَالَ ابْنَ أَبْزَى. قَالَ وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى قَالَ مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا. قَالَ فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى قَالَ إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ. قَالَ عُمَرُ أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ »
Dari Nafi’ bin ‘Abdil Harits, ia pernah bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfaan. ‘Umar memerintahkan Nafi’ untuk mengurus Makkah. Umar pun bertanya, “Siapakah yang mengurus penduduk Al Wadi?” “Ibnu Abza”, jawab Nafi’. Umar balik bertanya, “Siapakah Ibnu Abza?” “Ia adalah salah seorang bekas budak dari budak-budak kami”, jawab Nafi’. Umar pun berkata, “Kenapa bisa kalian menyuruh bekas budak untuk mengurus seperti itu?” Nafi’ menjawab, “Ia adalah seorang yang paham Kitabullah. Ia pun paham ilmu faroidh (hukum waris).” ‘Umar pun berkata bahwa sesungguhnya Nabi kalian -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda, “Sesungguhnya suatu kaum bisa dimuliakan oleh Allah lantaran kitab ini, sebaliknya bisa dihinakan pula karenanya.” (HR. Muslim no. 817).
Semoga nasehat di pagi hari ini bermanfaat. Wasiat Rasul lainnya akan disampaikan pada postingan lanjutan, insya Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.
Share:

Belajar Agama via Internet


Apakah mendengarkan pelajaran-pelajaran agama melalui internet termasuk mendapat keutamaan dikelilingi Malaikat*)?
Jawab:
Ya insya Allah, Allah itu Karim (Maha Pemurah). Orang tersebut sedang melakukan kebaikan dan amal shalih, kami harap ia mendapatkan keutamaan demikian (dikelilingi Malaikat rahmah).
Dan sekarang ini majelis ilmu itu menjadi lebih luas sejak adanya banyak wasilah. Semisal adanya pengeras suara dan wasilah yang lain, majelis ilmu menjadi luas dan tersebar luas diantara manusia. Maka kami harapkan demikian (mendapat keutamaan majelis ilmu) insya Allah, bagi orang yang ikut mendengarkan dan ikut serta dalam majelis ilmu (melalui wasilah-wasilah, pent.).
Semoga Allah mengumpulkan saya dan anda sekalian dalam kasih sayang Allah dan rahmat-Nya.
**

*) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لا يقعدُ قومٌ يذكرون اللهَ عز وجل إلا حفَّتْهم الملائكةُ ، وغشيتْهم الرحمةُ ، ونزلتْ عليهم السكينةُ ، وذكرهم اللهُ فيمن عنده
“tidaklah suatu kaum duduk untuk mengingat Allah, kecuali para Malaikat (rahmah) mengelilinginya, rahmat Allah menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang berada di sisinya” (HR. Muslim, no. 2700)
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id


Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/20716-fatwa-ulama-mendengarkan-pelajaran-agama-via-internet-dikelilingi-malaikat.html
Share:

Ilmu Hadits



Ilmu Musthalah Hadits secara nama belum ada pada masa Rasulullah SAW. Ia pada saat itu masih berupa semangat yang teraplikasikan secara alamiah dalam kehidupan para sahabat ketika mendengarkan berita yang disebut-disebut bersumber dari Nabi SAW. Ketika mereka mendengarkan seseorang bercerita tentang Nabi, mereka mengonfirmasi kebenaran berita tersebut kepada sumber utamanya, yaitu Nabi Muhammad SAW sendiri atau orang-orang yang dekat dengannya. 
Hal serupa juga terjadi setelah wafatnya Rasul. Para sahabat saling bertanya satu sama lain dalam mengonfirmasi kebenaran sebuah berita. Lama-kelamaan karena waktu terus bergulir dan jarak umat Islam dengan Nabi semakin jauh, maka dengan sendirinya sebuah berita membentuk silsilah pembawanya (perawi) yang semakin panjang. Hal inilah yang kemudian melatari munculnya sebuah ilmu untuk mengkaji kebenaran silsilah berita tersebut. Ilmu tersebut bernama Ilmu Musthalah Hadits yang pembentukannya semakin matang pada abad kedua dan ketiga hijriah. Puncaknya adalah kemunculan beberapa kitab khusus yang membahas istilah-istilah penting dalam hadits sebagai berikut. 

Pertama, Kitab Al-Muhadditsul Fashil baynar Rawi wal Wa’i karya Al-Qadhi Ar-Ramahurmuzi (360 H). Kitab ini dianggap sebagai karya pertama yang membahas ilmu hadits secara khusus, meskipun pembahasannya masih umum dan belum terlalu detail. 

Kedua, kitab Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits karya Al-Hakim An-Naisaburi (405 H). Kitab ini juga masih sederhana dan susunannya belum tersistematis.

Ketiga, kitab Al-Mustakhraj ala Ma’rifati Ulumil Hadits karya Abu Nu’aim Al-Asbahani (430 H). Penulisnya melalui kitab ini mencoba melengkapi kekurangan dari kitab-kitab yang ada sebelumnya. 

Keempat, kitab Al-Kifayah fi Ilmir Riwayah karya Al-Khatib Al-Baghdadi (463 H). Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, kitab ini lebih lengkap dan memuat tema-tema ilmu hadits yang lebih beragam.

Kelima, kitab Ulumul Hadits atau yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah Ibnus Shalah yang ditulis oleh Imam Ibnu Shalah (643 H). Kitab ini menghimpun keterangan dari beberapa kitab sebelumnya dan merapikan sistematika penyajiannya.

Keenam, kitab At-Taqrib wat Taysir li Ma’rifati Sunanil Basyirin Nadzir karya Imam Al-Nawawi (676 H). Karya ini merupakan simpulan dari kitab Muqaddimah Ibnus Shalah. 

Ketujuh, kitab Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi (911 H). Karya ini merupakan syarah (penjelasan) atas kitab At-Taqrib An-Nawawi.

Kedelapan, kitab Taysiru Mushthalahil Hadits karya Mahmud Thahhan. Kitab kontemporer yang mencakup seluruh istilah dalam ilmu hadits dan dijelaskan dengan bahasa yang gamblang serta mudah dipahami. Selain itu, sebagian kitab ilmu hadits ada juga yang ditulis dalam bentuk nazham (syair berbahasa Arab) oleh para ulama, di antaranya seperti kitab Alfiyah Al-‘Iraqi karya Imam Al-‘Iraqi (806 H) yang kemudian dijelaskan oleh Imam As-Sakhawi (902 H) dalam karyanya Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyatil Hadits. Demikian juga dengan Nazham Al-Bayquni yang ditulis oleh Umar bin Muhammad Al-Baiquni (1080 H) yang terdiri atas 34 bait. Kitab yang terakhir ini sangat populer dan diajarkan di berbagai pesantren di Nusantara. Wallahu a’lam. (Yunal Isra)

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/83883/kitab-kitab-populer-dalam-ilmu-hadits
Share:

Derajat Hadits Nabi Muhammad SAW


A. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI
· Hadits Mutawatir
· Hadits Ahad, terdiri dari:
1. Hadits Shahih
2. Hadits Hasan
3.Hadits Dha’if
B. MENURUT MACAM PERIWAYATANNYA
· Hadits yang bersambung sanadnya:(yaitu disebut hadits Marfu’ atau hadits Maushul)
· Hadits yang terputus sanadnya:
· 1. Hadits Mu’allaq
· 2. Hadits Mursal
· 3. Hadits Mudallas
· 4. Hadits Munqathi
· 5. Hadits Mu’dhol
C. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI
1. Hadits Maudhu’
2. Hadits Matruk
3. Hadits Munkar
4. Hadits Mu’allal
5. Hadits Mudhthorib
6. Hadits Maqlub
7. Hadits Munqalib
8. Hadits Mudraj
9. Hadits Syadz
2.3BEBERAPA PENGERTIAN DALAM ILMU HADITS
I. Hadist yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
I.1. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits Rasulullah SAW (catatan tentang sesuatu hal yang dikatakan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, HANYA oleh dan dari Beliau SAW, dan TIDAK SELAIN Beliau SAW ) yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:
[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat bernada pasti. [Sifat kalimatnya Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan) ].
[2]. Sandaran penyampaiannya kepada sesuatu yang konkret, yaitu perawinya menyaksikan secara langsung dengan matanya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:
“sami’tu” = aku mendengar
“sami’na” = kami mendengar
“roaitu” = aku melihat
“roainaa” = kami melihat
[3]. Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat kebiasaan mustahil mereka berdusta secara berjamaah dan bersama-sama. Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada kalimat yang bersifat Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan).
[4]. Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad. Rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang. Perawi2 tersebut terdapat pada semua generasi yang sama. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu hadits yang diberi derajat mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
Catatan:
Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.
I.2. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”. Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
I.3. Hadits Shahih
Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
b. Harus bersambung sanadnya
c. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
d. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
e.Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
f. Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.4. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
I.5. Hadits Dha’if
Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
II. Hadist menurut kualitas periwayatannya
A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu’ atau Maushul.
B. Hadits yang terputus sanadnya
1. Hadits Mu’allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang “tergantung”, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha’if.
2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang ”dikirim”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang menerima hadits itu.
3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang ‘disembunyikan’ cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain Sahabat dan Tabi’in.
5. Hadits Mu’dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan Tabi’in yang menjadi sanadnya.
Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas. Apabila BERTENTANGAN dengan ciri-ciri hadits Shahih maka bisa dikategorikan termasuk hadits-hadits dha’if.
III. Hadist-hadist dha’if (lemah) disebabkan oleh cacat perawi
A. Hadits Maudhu’
Yang berarti ‘yang dilarang’, yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perawi yang pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
B. Hadits Matruk
Yang berarti ‘hadits yang ditinggalkan / diabaikan’, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan hanya oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu pernah ketahuan berdusta atau dituduh suka berdusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits alias hadits palsu.
C. Hadits Munkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh perawi yang dikenal terpercaya / jujur. Maka hadits semacam ini tidak boleh digunakan, dan sebagai gantinya harus menggunakan hadits dengan topik yang sama namun yang diriwayatkan oleh perawi lain yang dikenal terpercaya / jujur.
D. Hadits Mu’allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat, yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Al-Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani bahwa hadis Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma’lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu’tal (hadits sakit atau cacat).
E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) yang kacau atau tidak sama dan berkontradiksi dengan yang dikompromikan.
F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang ‘terbalik’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang didalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya, sehingga mengurangi kualitas keaslian hadits tersebut, atau bahkan merubah pengertian dari hadits tersebut.
I. Hadits Syadz
Hadits yang ‘jarang’, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), namun isinya bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut mayoritas ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz
2.4.Derajat-derajat hadist sahih
Hadits shahih itu dilihat dari sisi kekuatannya, berderajat-derajat :
1. Sanadnya disifati para ulama sebagai sanad paling shahih. Sanad ini lebih diunggulkan dan diistimewakan. Contoh : Periwayatan az zukhri dari salim bin abdillah. Hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim (semua ulama bersepakat akan keagungan buku ini).
2. Tingkatan sebagai berikut:
1. Bukhari – Muslim
2. Bukhari saja
3. Muslim saja
4. Sesuai syarat Bukhari Muslim
5. Sesuai syarat Bukhari saja
6. Sesuai syarat Muslim saja
7. Sesuai syarat imam-iman lain
3. Ada juga yang menderajatkan sebagai berikut:
1. Yang diriwayatkan penduduk kota madinah dan mekah. Karena sifat tadlis (menyembunyikan keburukan, menampakkan kebaikan perawi) nya kecil.
2. Basrah – punya sanad yang shahih dan jelas, dan banyak meriwayatkan hadits
3. Kuffah – banyak hadits, tapi banyak penyakit
4. Syam – kebanyakan mursal dan terputus
“Tidak mengharuskan kita berkata hadits ini paling kuat dalam bab ini” – jangan tertipu. Karena hal itu tidak berarti menjadikan hadits tersebut shahih.
Sebelum datang imam bukhari, ulama mencampurkan hadits shahih, dhaif, sampai perkataan sahabat, dsb. Maka setelah beliau datang, dibukukan lah buku yang mengumpulkan hadits yang didalamnya shahih saja. Al Muwatta’ juga mengandung hadits shahih saja, tetapi juga tercampur dengan perkataan sahabat, sehingga tidak seperti shahih bukhari.
Jangan mengira hadits shahih itu hanya ada di Bukhari Muslim saja. Karena tidak semua hadits shahih dimasukkan. Beliau (bukhari) hafal 100.000 hadits shahih, dan di kitab bahkan tidak sampai 1000.
Kebanyakan hadits shahih itu ada pada
Kutubus Sittah , yaitu Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah. Kitab lain yang mengandung hadits shahih juga masih banyak.
Bukhari lebih piawai daripada Imam Muslim:
Kalau bukan Imam Bukhari, Muslim tidak akan ada
Imam Muslim pun mengakui I Bukhari
Imam Bukhar dengan gurunya
Imam Muslim lebih rapi d pemberian bab dan lebih kuat lafadznya (ia mengharamkan meriwayatkan hadist berdasar makna, harus sama persis)
Selain ulama-ulama / kitab di atas, tidak diperbolehkan kita langsung memastikan keshahihan hadits yang diriwayatkan tanpa kita mempelajari lebih lanjut.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat kita simipulkain bahwa derajat-derajat dari kesahihan sebuah hadis tergambarkan dari syarat-syarat dan ketentuan yang telah di tetapkan ,yakni :
I. HADITS YANG DILIHAT DARI BANYAK SEDIKITNYA PERAWI
II. MENURUT MACAM PERIWAYATANNYA
III. HADITS-HADITS DHA’IF DISEBABKAN OLEH CACAT PERAWI
Dengan tererut dan di telaah nya sebuah hadis maka dapat ditentukan hadis yang sahih karena hadis mempunyai derajat-derajat atau tingkatan sehingga menjadi hadis sahih yang dapat digunakan dan hadist-hadis dapat dilihat dari sisi-sisi kekuatan nya d,berderajat-derajat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, H. Muhammad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadis, Bandung : CV Pustaka Setia.
Echols, John M., Hassan Shadily,1992, Kamus Indonesia-Inggris, Jakarta: Gramedia.
Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi (Eds),1996, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis, Yogyakarta:LPPI.
Ismail, M. Syuhudi ,1988, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang.
Nuruddin ‘Itr, 1994, Manhaj an-Naqd fi ‘ulum al-Hadis atau Ulumul Hadis, Terj. Drs. Mujiyo, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Rahman, Fatchur, 1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung: Al Ma’arif.
Thahhan, Mahmud, 1999, Taisir Musthalah Hadis atau Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Terj. Drs. Zainul Muttaqin, Yogyakarta : Titian Ilahi Press & LPPKI.
Yunus, H. Mahmud, 1990, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung
Share:

Peristiwa di bulan Muharram



Dalam kitab Nazatul Majalis wa Muntakhabun Mawaidz karya Syekh Abdurahman Al-Sofuri juz 1 halaman 174 dijelaskan bahwa pada tanggal 10 Muharram Allah memuliakan 10 Nabinya, diantaranya:
1. Istofa Adama, artinya Allah memilih Nabi Adam. Sebagaimana diceritakan dalam sejarah bahwa Nabi Adam memiliki salah hingga diturunkan ke bumi. Istrinya Hawa diturunkan di Jeddah, sedangkan Nabi Adam di Srilanka. Kemudian Nabi Adam bertaubat dan diterima taubatnya oleh Allah pada 10 Muharram,
2. Allah mengangkat Nabi Idris ke langit pada pada tanggal 10 Muharram.
3. Berlabuhnya perahu Nabi Nuh yang mendarat di atas gunung Judd. Saat itu menggenangi bumi selama 150 hari. Air turun dari langit berwarna kuning, dan keluar dari bumi berwarna merah. Pada peristiwa ini juga Kakbah roboh.
4. Allah mengangkat Nabi Ibrahim sebagai khalilullah atau kekasih Allah pada tanggal 10 Muharram.
5. Allah mengampuni Nabi Daud pada tanggal 10 Muharram.
6. Allah mengembalikan kerajaan Nabi Sulaiman pada 10 Muharram.
9. Nabi Yusuf dan Nabi Yakub sempat terpisah selama 40 tahun, lalu Allah kumpulkan kembali Nabi Yusuf dan Nabi Yakub, pada 10 Muharram.
10. Peristiwa lahirnya Nabi Isa serta naiknya ia ke langit juga pada 10 Muharram.




Peristiwa lain yang terjadi pada Bulan Muharam yaitu :

1. Taubat Nabi Adam AS diterima oleh Allah SWT. 
2. Berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Zuhdi dengan selamat juga terjadi di Muharam, yakni usai dunia dilanda banjir yang menghanyutkan dan membinasakan sebagian besar manusia di Bumi. 
3. Selamatnya Nabi Ibrahim AS dari siksa Namrud terjadi di Muharam. Siksa itu berupa nyala api, yang ternyata tidak membakar Nabi Ibrahim. 
4. Nabi Yusuf AS dibebaskan dari penjara kerajaan Mesir. Sebelumnya, Nabi Yusuf AS dipenjara karena fitnah yang menimpanya.
5. Peristiwa Nabi Yunus AS selamat dan keluar dari perut ikan besar yang menelannya pun terjadi di bulan Muharam.
6. Nabi Ayyub AS disembuhkan Allah dari penyakitnya juga pada bulan Muharam. 
7. Nabi Musa AS dan umatnya, kaum Bani Israil, selamat dari pengejaran Fir’aun di Laut Merah. Nabi Musa dan ratusan ribu umatnya selamat memasuki gurun Sinai untuk kembali ke tanah leluhur mereka.
Share:

Bulan Hijriyah nama dan artinya



Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari.
Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah.
Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 – 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata’ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah (9):36).

Sebelumnya, orang arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah di tahun gajah.
Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.
Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw.
Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).
Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw.
Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab.
Orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya. Berikut adalah arti nama-nama bulan dalam Islam:
MUHARRAM, artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.
SHAFAR, artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.
RABI’UL AWAL, artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.
RABIU’UL AKHIR, artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.
JUMADIL AWAL nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.
JUMADIL AKHIR, artinya: musim kemarau yang penghabisan.
RAJAB, artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.
SYA’BAN, artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).
RAMADHAN, artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa peting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad saw berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.
SYAWWAL, artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan.
DZULQAIDAH, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.
DZULHIJJAH artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.
Share:

Hukum qurban pada hari raya Iedul Adha


Ada beberapa syarat yang bisa jadi alasan seseorang diwajibkan atau disunnahkan untuk berqurban. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Muslim. Orang kafir tidak diwajibkan atau disunnahkan untuk berqurban karena qurban adalah bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Sedangkan orang kafir bukanlah ahlul qurbah.
firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).

2. Orang yang bermukim. Musafir tidaklah wajib untuk berqurban.  Ini bagi yang menyatakan bahwa berqurban itu wajib. Namun bagi yang tidak mengatakan wajib, maka tidak berlaku syarat ini. Karena kalau dinyatakan wajib, maka itu jadi beban. Jika dikatakan sunnah, tidaklah demikian.

  1. 3. Kaya (berkecukupan). Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa qurban itu disunnahkan bagi yang mampu, yaitu yang memiliki harta untuk berqurban, lebih dari kebutuhannya di hari Idul Adha, malamnya dan selama tiga hari tasyriq juga malam-malamnya.
  2. Hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
    Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
    “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)

  3. Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).

  4. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).

  5. 4. Telah baligh (dewasa) dan berakal.






Share:

toko islam

toko islam

Popular Posts

Umroh Murah Ibadah Berkah

  UMRAH PASTI MAMPU!!!!! 🕋🕋 Di Tanur Ada program keren namanya Easy Umrah apa aja sih easy nya klo anda mau umrah DI TANUR cekidottt 👇 1....

Kajian Umum